Thursday, May 3, 2007

Sahabat Hati (bagian 1)

malam sudah sangat larut ketika aku dan Kris duduk di sebuah artificial stone di tempat kami biasa bertemu. arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku sudah melewati angka 12 terakhir kali aku melihatnya, hanya menunggu menit untuk berganti hari. dalam gelap aku tahu mata Kris masih menatap pada gelapnya malam yang menyelimuti kami, sementara aku sendiri masih saja memeluk lututku sendiri.

"jadi kamu akan tetap pergi nanti?" tanyaku sekedar memecah sunyi yang sejak tadi menggantung.

"jangan mulai perdebatan ini lagi Vi. aku harus pergi dan kamu tahu itu!" jawab Kris sedikit keras.

"aku gak tahu. yang aku tahu kamu gak harus pergi. yang aku tahu kamu masih butuh waktu untuk menyelesaikan ini. dan yang lebih aku tahu lagi adalah bahwa kamu gak berhak menyakiti diri kamu sendiri." balasku. tiba tiba ada sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak berhadapan dengannya malam itu.

"ayolah Vi. kita sama sama tahu aku harus menghadapi ini. kekosongan ini harus terisi, dan kita sama sama tahu hanya Bintang yang bisa mengisinya." aku menunduk mendengar bujukan itu. ada sebuah tanya yang aku sendiri takut mendengar jawabannya.

"bahkan kehadiranku juga gak bisa mengisi kekosongan itu?" Shit!!!!!! dalam hati aku mengutuk. akhirnya kutanyakan juga. dan aku bersiap mendengar jawaban apapun yang akan terucah dari binir yang kini menghisap sebatang rokok putih lagi.

"Vi, maaf ya?" hanya itu yang terucap. tiga kata yang mampu membuatku menitikkan air mata. Kris menatapku sejenak sebelum kembali menatap gelap. aku sendiri memalingkan wajahku sebisa mungkin menyembunyikan aliran air mataku sendiri. Brengsek!!!!!!! dia bahkan tak melakukan apa apa. sebegitu tidak berartinyakah aku untuknya? sialan cowo ini! kutukku dalam hati.

gadis itu masih memeluk lututnya sendiri setelah aku meminta maaf. aku tahu dia menyembunyikan air matanya meski aku terlanjur melihatnya. ini pertama kalinya aku melihat dia menangis. Vi bukan gadis cengeng. tapi hari ini air mata itu justru meluncur karena aku. aku tahu jawaban itu menyakitinya. tapi.............. Sial!!!!!!!!!!!! rasanya ingin sekali aku melakukan sesuatu untuk menenangkannya tapi gak tahu mesti berbuat apa.

"Vi, tenanglah, aku pasti kembali kok. aku janji." kataku akhirnya lebih dari sekedar menenangkan Vi, tapi juga menenangkan diriku sendiri.

"terserah!" jawab Vi singkat. aku tahu dy benar benar terluka dan lebih baik meninggalkanya sendirian saat ini, jadi kuputuskan untuk berjalan sejenak sambil menunggu matahari terbit yang akan memisahkan aku dan Vi.

akhirnya Kris pergi. aku tetap pada tempat semula. membiarkan diriku sendiri menangis dan membiarkan air mataku mengering dengan sendirinya. menunggu matahari terbit. ini pertama kalinya kami menikmati sunrise sendiri sendiri saat berada di tempat ini. rasanya sedih, sakit, dan marah bercampur jadi satu. dan itu menguras energiku dalam semalam. aku lelah. aku tahu aku harus istirahat, tapi sialnya sepasang mataku tak mau terpejam juga. brengsek!!!!!! kutukku lagi disela sela angin yang mengeringkan air mataku

sudah pukul lima lewat ketika aku kembali ke tempat Vi. diatas artificial stone itu aku melihatnya masih meringkuk. melihatnya seperti itu aku mulai kuatir atau lebih tepatnya ragu. ragu pada keputusan yang sudah kubulatkan lebih dari sebulan setelah melihat reaksi Vi semalam.

untuk orang orang yang tidak mengenal aku dan Vi, mungkin reaksi Vi akan di katakan berlebihan. apa yang salah kalau sahabatmu ingin menemui gadis yang dicintainya nyaris seumur hidupnya? tidak ada. tidak ada yang salah. yang salah adalah kalau gadis yang akan ditemui sahabatmu adalah gadis yang pernah menghancurkan hatinya dan merubah sahabatmu sama sekali. dan itulah yang dilakukan Bintang padaku.

aku mengenal Bintang jauh sebelum aku mengenal Vi. tapi anehnya Vi lah orang pertama yang menyadarkanku bahwa perasaan ini lebih dari sekedar persahabatan biasa. Vi yang membuatku menyakini cinta itu memang ada. Vi juga yang tetap setia mendengar aku bercerita tentang dia ketika teman temanku sudah mulai bosan. hingga pada akhirnya hanya Vi yang sanggup menemaniku saat Bintang itu tak tergapai. Vi juga yang masih bisa menenangkanku saat aku mulai sinis dan mulai kehilangan banyak hal. hanya Vi yang bisa melihat airmata yang tak mengalir itu. dan semalam dengan seenaknya aku bilang pada gadis itu kalau aku akan menemui Bintang hari ini dan membuatnya begitu tak berarti. tapi aku dan Vi juga sama sama tahu kalau suatu saat aku tetap harus bertemu dengan Bintang, mungkin untuk mencoba menggapainya lagi, tapi lebih dari itu, aku ingin memuaskan hatiku.

Vi bukan orang pertama yang mencoba mencegah kepergianku kali ini. sebelum dia, orang orang di sekitarku pun tak membiarkan aku pergi. tapi hanya Vi yang bisa mengatakan dengan pasti dan tepat bahwa aku pergi untuk menjemput kehancuran hatiku. well, aku sendiri kaget ketika dengan sinis aku berkata "mungkin" satu kata itu membuat Vi terdiam sejenak, tapi mungkin nada suarakupun ikut berpartisipasi mendiamkannya. kata berikut yang keluar dari bibirnya adalah "Bodoh!"

sudah pukul lima lewat ketika Kris kembali menghampiriku setelah entah dari mana? aku melihatnya dengan cukup jelas dari sudut mata yang mulai mengering. aku tahu dia tidak bermaksud menyakitiku tapi rasanya tetap saja....

"cari makan yuk Vi, aku lapar." kata Kris begitu dia cukup dekat dengan ku. aku hanya menganggukkan kepala dan bangkit dari dudukku. kami berjalan ke tempat kami biasa breakfast. selama makan kami hanya terdiam satu sama lain. hingga akhirnya aku menjadi jengah sendiri.

"Kris......." panggilku pelan

"hmmmm???" jawab Kris

"aku bisa pegang janji kamu???" tanyaku. Kris menatapku lekat lekat sebelum kemudian membuang nafas.

"selama kamu mengijinkan aku kembali, aku pasti kembali." jawab Kris. aku tahu ada ragu dalam suaranya, tapi entah lah, mungkin juga itu kareana raguku sendiri.

"kita lihat saja nanti. kamu gak akan pernah sama setelah pertemuanmu dgn Bintang kali ini."

"aku tahu."

"Ok, aku pulang dulu. good luck." dan aku melangkah. kali ini sendiri.

Vi melangkah meninggalkanku, sejenak ada rasa tak rela atas kepergiannya yang kali ini sendiri. biasanya aku mengantarnya sampai terminal kota, menunggu sampai bis itu membawanya pergi dari mataku. tapi saat ini, aku hanya tahu, Vi butuh ruang untuk sakit hatinya. sakit hati yang justru di sebabkan oleh ku.

sejujurnya aku masih ingin dia ada di sini. mendukungku mungkin. entah kenapa aku merasa nyaman saat dia ada di sampingku. dia sahabat yang istimewa itu saja mungkin. ya, dia memang istimewa. entah sejak kapan aku menyadarinya. mungkin sejak aku datang padanya ketika aku menyadari sekolah di asrama itu melelahkan. ya, aku dan Vi memang berasal dr sekolah yg sama. sebuah sekolah berasrama yang seperti aku bilang tadi, melelahkan. aku tahu sekolah itu melelahkan juga untuknya, tapi entah bagaimana gadis yg satu ini selalu bisa mendukungku dengan caranya sendiri.cara yang membuat dia semakin istimewa selama lebih dari tiga tahun hidupku. dan gadis yg istimewa itu kini.......................................................

"Vi, maaf." hanya itu yg bisa terucap di benakku.

aku sudah berada di bus itu, bus yang akan membawaku pulang. pulang ke kehidupan nyataku. sambil berharap bahwa apa yang terjadi sejak semalam hanyalah bagian dari mimpi buruk. tapi mimpi buruk itu meninggalkan luka. luka yang membuatku terus menitikkan air mata. dalam hati aku mengutuk Kris dengan segala sumpah serapah yang sempat terlintas di otakku. menyumpahi segala keputusannya, mengutuk segala kebodohannya. Kris senang sekali membuat kesulitan untuk dirinya sendiri. seolah hidupnya kurang masalah. demi Tuhan, aku pasti makhluk terbodoh di dunia kalau sampai gak tau untuk apa Kris menemui Bintang. aku tahu suatu saat lelaki ini harus menghadapi kenyataan bahwa Bintang memang sebuah bintang yangtak bisa lagi tergapai. tapi tidak sekarang. tidak saat Kris sendiri masih belum bisa menjaga hidupnya dan hatinya sendiri. dan tidak dengan menyakitiku seperti ini. tidak dengan membuatku merasa benar benar tak berarti.

"tapi dia tidak bermaksud menyakitimu, Vi." bisik hatiku

"aku tahu, tp tetap saja itu menyakitkan." bisikku sendiri.

"sudahlah, dia toh gak sengaja."

"sengaja atau tidak luka itu sudah ada"

"Vi........... bukankah sebaiknya kamu tetap di sana? menemaninya mungkin." bisik hatiku tiba tiba setelah kami terdiam lama

"mungkin, tapi aku sedang butuh waktu. dia sendiri yang ingin pergi. dia harus melewati ini sendiri, setidaknya sampai dia siap untuk kembali dan aku sendiri siap untuk menerimanya."

"dasar keras kepala kamu Vi. tapi terserahlah."

dan perdebatan hatiku berhenti seiring dengan kelelahanku.

No comments: