Monday, May 26, 2008

Cerpen Tanpa Judul

(bingung mau kasih judul apa, cuma ngeluarin sedikit virus di kepala, kalau tidak layak baca, ya maaf saja)

“Rhei!!!!” teriak seseorang mengagetkanku pagi itu begitu aku memasuki gedung kampus fakultas sastra di sebuah universitas negeri di kota Atlas ini. Sejenak aku berhenti untuk melihat siapa pelaku kejahatan jantung pagi – pagi begini dan aku mendapati David berlari ke arahku. “Kamu ada kelas pagi ini?” tanyanya.

“gak” jawabku sembari menggelengkan kepalaku, “cuma mau ngumpulin paper analisis dari Pak Yan aja. Memangnya kenapa?”

“gak kenapa – napa, cuma tanya aja, aku juga mau ngumpulin paper ke meja beliau nih. Barengan aja yuk?” ajak pria itu. aku menganggukkan kepala dan memasuki ruang dosen kemudian keluar lagi setelah meletakkan paper itu di sebuah meja di ruangan itu.

“kamu ada kelas jam berapa Vid?” tanyaku sekedar basa – basi.

“masih ntar sih jam 11an. Kamu sendiri?”

“jam 9”

dan kemudian diam sampai tiba2 tidak ada hujan atau angin pria itu menarik pergelangan tanganku saat kami sampai di gazebo kampus. Kutatap pergelangan tanganku bergantian dengan wajah pria ini.

“aku pengen tanya sesuatu, dan aku rasa kita butuh duduk.” Katanya. Kuangkat sebelah bahuku dan mengarahkan kaki ke salah satu bangku panjang di gazebo yang masih sepi itu.

“ada apa?” tanyaku begitu kami duduk.

Lelaki itu menghela nafasnya dengan berat, seolah ingin melepas banyak sekali beban di pundaknya sebelum menatapku lekat – lekat. “kamu dan Abel masih jadian kan?” tanyanya. Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan aneh itu, dan yang membuat pertanyaan itu lebih aneh adalah bahwa pertanyaan itu keluar dari mulut David yang sama sekali tidak bisa dibilang dekat baik denganku ataupun dengan Abel, pria yang sudah dua tahun jadi kekasihku.

“kamu ngjakin aku ngomong Cuma buat nanya itu doang? Aneh banget sih? Memang ada apa?” tanyaku balik. Kulihat lelaki itu resah. Beberapa kali disibakannya rambutnya yang sepanjang bahu.

“kamu lagi ada masalah ma dia?” tanyanya lagi yang membuat aku makin bingung.

“Vid, aku lagi g ada masalah ma Abel, kami baik – baik aja, tapi kamu malah bikin aku penasaran dengan pertanyaan – pertanyaan kamu, dan percaya deh, itu gak baik. Ada apa sih?” tanyaku sekali lagi dengan kebingungan yang makin terasa aneh.

“aku……. Aku lihat Abel kemarin.” Kata pria itu setelah terdiam lagi lumayan lama. Aku tertawa. Benar benar tertawa.

“kamu ini Vid, mau ngomong itu aja kok serius banget.” Kataku, “trus kenapa kalau kamu lihat Abel?”

“masalahnya aku lihat dia di mall sama cewe, Rhei.” Jawab David pelan namun mampu membuatku terdiam. “dan kamu gak perlu cari pembelaan dengan mengatakan kemungkinan hubungan teman atau saudara Rhei. Apa yang aku lihat tidak seperti itu.” sekali ini aku benar – benar terdiam. Kutatap lelaki yang duduk disampingku itu dengan seksama berharap ada dusta di sudut matanya. Sekecil apapun tanda dusta itu, aku akan percaya. Tapi kenyataan sepertinya berbicara lain, tak sedikitpun ada kilatan canda di mata itu. David mengatakan kebenaran.

“Vid, seperti apa perempuan itu?” tanyaku setelah lama terdiam.

“kecil, putih, rambutnya panjang, dan agak – agak sexy gitu sih kostumnya.” Jawab David. Aku kembali terhenyak. Gambaran perempuan yang sama seperti yang diceritakan oleh beberapa orang sebelum lelaki ini.

Yach, memang bukan sekali ini aku mendengar Abel jalan dengan perempuan lain. Dan bukan sekali ini juga aku mendengar ciri – ciri yang sama dari gadis itu, dan entah kenapa aku masih menganggap itu sebagai hal biasa. Tapi pagi ini, ketika seseorang kembali mengungkapkannnya dengan lebih hati – hati, sejujurnya aku bimbang. Aku bimbang dengan kepercayaan yang sudah sekian lam kubangun untuk Abel. Kebimbangan yang membuatku memutuskan bahwa kami memang buth bicara. Abel berhutang penjelasan padaku.

“Sorry Vid, aku harus masuk kelas.” Bohongku, meski aku tahu pasti lelaki ini tahu betul kebohongan itu.di balik anggukan kecilnya yang mengiringi langkahku.


kuungkapkan juga rahasia itu

disela waktu yang mampu tercuri

meski hanya sejenak

dengan diam yang terus saja meraja

gadis…….

Semoga telinga membuka juga mata indahmu

Bahwa yang kau jaga tak lagi berharga


“Siapa perempuan itu, Bel” tanyaku saat berada di dalam pelukan Abel di kamar kosnya sore hari setelah pembicaraanku dengan David sekian jam sebelumnya .

“kamu ngomong apa sih Rhei? Perempuan yang mana?” tanya lelaki yang masih saja memelukku dalam dekapan lengan – lengan kekarnya.

“sudahlah Bel, aku sudah tau kok. Aku Cuma pengen tau siapa perempuan yang mampu membuatmu berpaling dariku.” Jawabku, “aku kan gak perlu membuka semua memori hp dan notebookmu kan?” tambahku lagi. Abel terdiam tanpa melepaskan dekapannya.

“siapaun dia, percalah Rhei, dia bukan seseorang yang akan mengancam hubungan kita.” Bisik Abel di telingaku dengan dekapan yang makin erat hingga terasa menyesakkan.

“aku akan memutuskan itu nanti, sekarang aku cuma ingin tahu, siapa perempuan itu.” balasku. Abel membuang nafas.

“Maya. Namanya Maya.” Jawab Abel sesaat kemudian.

“sejak kapan?” tanyaku lagi

“gak pentng kan babe? Yang penting aku dah gak sama dia lagi sekarang. Yang penting saat ini aku ada buat kamu.” Dan kulepaskan dekapan itu dengan paksa.

“aku tanya sejak kapan?” tanyaku dengan nada lebih tegas diantara amarah yang mulai meletup dari ujung lidahku.

Sekali lagi Abel membuang nafas.

“6 bulan lalu saat kamu magang di Jakarta.” Jawabnya pelan.

“kenapa?” tanyaku lagi

“karena aku kesepian, sementar kamu seolah bisa bertahan di sana tanpa aku. Kamu seolah bisa melakukan apapun dan terdengar begitu bebas tanpa aku. Jadi…” kalimat itu menggantung.

Giliranku menghela nafas antara kelegaan dan membuang amarah yang tak ingin kuledakkan. Pelan tapi pasti aku bangkit dari sofa bed tempat kami duduk. Kutatap lelaki di depanku dengan tatapan yang aku sendiri tak tahu apa artinya.

“Bel, kita putus!” kataku dengan jeda yg jelas dan ketegasan yang hanya keluar saat aku menahan amarahku. Dan aku berbalik mengacuhkan tatapan surprise Abel. Kuambil semua barangku, kubereskan diriku, dan beranjak ke pintu.

“asal kamu tau Bel, sejujurnya, hanya karena aku mengingatmu lah aku bisa bertahan di kota itu selama 6 bulan.” Kataku sebelum benar benar membuka pintu dan berlari pergi.


Keputusan itu terlontar juga

Meski amarah itu tetap saja tertahan

Dan melodi kisah ini berujung juga

Pada titian coda

Menjadi epilog nada