Saturday, March 19, 2011

The Last Letter

Tidak biasanya malam di Surabaya menjadi begitu dingin untuk Fey. Perempuan muda itu menggelung tubuhnya di balik bed cover tebal. Computer portable masih menyala di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Modem mungil bahkan masih tertancap di lubang usbnya. Layar 10” itu masih saja menampilkan halaman surat elektronik yang hanya berisi alamat seseorang. Jo_2008@xxxx.com alamat yang dihafalnya di luar kepala seperti juga ketika ia menghafal no telp pemilik alamat itu. Fey menatap layar komputernya. Suara pria itu masih terngiang jelas di telinganya, terekam dengan baik di otaknya. Bahkan gambaran kejadian sekian jam yang lalu pun masih segaa di depan matanya. Fey mengerang sebelum akhirnya bangkit dan memainkan jarinya di atas keybord computer itu dengan cepat.

“Dear Jo,

Its not easy to write this email. But I must do it I guess.

Kamu pasti tahu kalau aku kaget banget malam ini. Mendengar suara kamu setelah berbulan-bulan kita lost contact begitu saja adalah salah satu alasannya. Alasan lain pastinya karena maksud telfonmu. Aku tidak tahu Jo, apa kamu menelponku dengan sadar atau sedikit mabuk? Semoga kamu tidak mulai minum ya, karena setahuku bagimu itu haram. Tapi kita toh sudah melakukan banyak hal yang “haram” menurutmu. Rasanya tak perlu juga aku menyebutkannya satu per satu bukan?

Jo, mengenal kamu adalah salah satu hal yang menyenangkan bagiku. Mungkin salah satu anugerah yang DIA berikan untukku. Anugerah yang mengingatkan aku bahwa segala kebaikan dalam diriku dan dirimu ternyata tidak cukup untuk kita. Tidak akan pernah cukup. Kamu baik Jo, dan dengan narsis aku cukup tahu bahwa aku cukup baik. Dan jika kita bicara tentang cinta. Kita sama-sama tahu bahwa cinta itu ada. Tapi kita juga sama-sama tahu kalau cinta saja tidak cukup. Tidak di negera ini. Tidak ketika cinta itu membutuhkan pengorbanan-pengorbanan prinsip yang ternyata tidak kecil.

Tidak Jo, cintaku tidak cukup untuk semua itu. Cintaku tidak cukup besar untuk melihat air mata di sudut mata Ayahku karena beliau tidak akan bisa mendampingi putri pertamanya. Cintaku juga tidak cukup egois untuk meneguhkan hati dan diri melihat kesedihan di mata orang tua kamu melihat anak pertamanya berjalan menuju altar. Sepertinya cinta yang aku punya jelas tidak cukup.

Jo, seandainya bahagiaku bersamamu bisa dibeli, aku akan membelinya. Tapi apakah kamu mau membelinya? Maukah kamu melangkah bersamaku diluar garis yang diajarkan padamu sejak kecil? Mampukah kamu berjalan bersamaku dan melepaskan impian lelakimu di belakang sana? Dan dari matamu setiap kali kita membicarakan ini aku tau kamu tidak bisa. Itu mimpimu, itu langkah yang ingin kamu jalani. Kamu tidak akan bisa melepaskan itu semua, bahkan untukku.

Lepaskan aku Jo. Lupakan apa yang pernah terjadi. Segala hal baik dan segala “dosa” yang pernah terjadi. Kamu layak mendapatkan perempuan itu. Perempuan yang mampu menjalani seluruh mimpi itu bersamamu. Tapi perempuan itu bukan aku.

Best regards,

Fey”

Fey menekan tombol send dengan mata membayang. Layar komputernya sudah terlihat kabur sejak tadi. Ini email terakhirnya untuk lelaki itu, teguh nya dalam hati. Rasa sesak di dadanya meledak menjadi guncangan pelan di bahunya. Sepasang sungai kecil mengalir begitu saja. This love is never enough. Either for you or for me. Not even for this country. Dan perempuan itu menutup emailnya tanpa peduli lagi apakah dia menerima balasan email tersebut atau tidak. Baginya segala kisah itu sudah selesai.