Tuesday, September 21, 2010

Part 2: Kaliurang Km sekian (1)

Mobil hitam melaju dengan cepat berebut waktu dengan senja yang tak mau menunggu. Tubuh pengendali kereta besi itu menegang menatap matahari yang tak mau berkompromi. Elang berhenti di sisi jalan yang cukup lebar menampung Baleno hitamnya. Lelaki itu menghela nafas panjang. Perjalanannya bahkan belum sampai setengah. Lelaki itu tak suka saat harus menunggu senja seperti ini karena mata minusnya harus membiasakan diri dengan cahaya yang berubah. Tapi dia juga tak mau lama-lama istirahat. Jalan raya dari Semarang ke Jogja sama sekali tidak menyenangkan saat malam hari. Dia tidak sudi membiarkan Balenonya harus melawan kecepatan berbagai kendaraan berat yang mulai keluar sarang selesai pukul delapan.

Baby you’re that I want....

Melodi awal dari ringtone komunikatornya membuat lelaki itu menyambar benda kotak itu segera. Nama Pram, sahabatnya bertengger dengan indah di LCD yang menyala. Lelaki itu segera menjawabnya.

“Apa, Pram?” tanya lelaki itu.

”Sampai mana, Bro?” jawab suara di sebrang sana.

”Baru masuk Magelang,” jawab Pram,

”Ok, buruan!” dan telpon itu terputus dengan seenaknya. Elang mengutuk sahabatnya dalam hati. Kalau bukan Pram, dia pasti tak akan sudi jauh-jauh ke Jogja tepat saat long week end seperti ini. Tapi Pram bisa membunuhnya kalau dia sampai tidak datang ke pertunangan sahabatnya itu.

Elang dan Pram. Dua lelaki berbeda jalan yang diikat dengan sebuah label kehidupan. Persahabatan. Persahabatan yang sudah terjalin bertahun-tahun sejak Pram dan keluarganya masih tinggal di Semarang dan belum pindah ke Jogja. Persahabatan yang terjalin dengan surat demi surat kertas. Persahabatan yang tetap bertahan ketika teknologi bernama ponsel dan email sama-sama mereka kenal. Persahabatan yang tak tergoyahkan. Persahabatan yang pernah membawa Pram nekat bolos dan mengendarai motornya ke Semarang begitu mendengar Elang masuk Tlogorejo karena DB saat mereka masih sama-sama SMP. Persahabatan yang membuat Elang nekat menerima hukuman orang tuanya saat Pram masuk Panti rapih karena kecelakaan sehari sebelum ujian kelulusan SMA. Persahabatan yang menghasilkan hal-hal gila yang membuat mereka tertawa bersama dan bersedih bersama.

Persahabatan itu pula yang membawa Elang sekarang mengendarai Balenonya ke kota gudeg. Mengingat ide pertunangan Pram, Elang mau tak mau tersenyum juga. Dia cukup mengenal Pram dan orang yang mengenal Pram dengan baik tak akan menduga dia akan memutuskan untuk bertunangan di usia 25 tahun. Elang masih ingat dengan pasti ketika Pram memperkenalkan Mia.

”Kamu harus kenal sama dia, Lang. Tapi kamu gak boleh suka sama dia,” kata Pram waktu itu.

”Memangnya pernah aku suka ma perempuan-perempuanmu itu?” balas Elang cuek meskipun sejujurnya dia penasaran setengah mati pada sosok Mia yang sudah sebulan mengisi perbincangan telpon, chat, dan email dari Pram. Ada kesan Pram memuja perempuannya yang satu ini. Seorang penyanyi cafe di Jogja kata Pram waktu itu. Berarti bukan perempuan jelek. Kuliah di ISI Jogjakarta jurusan seni musik tahun pertama dan baru menginjak 18 tahun. Artinya bukan perempuan bodoh. Cerdas dan cantik. Kombinasi yang selalu disukai Pram. Dan malam itu Elang membuktikannya sekali lagi ketika melihat kedatangan perempuan bernama Mia.

Seperti dugaannya semula. Mia perempuan yang cantik dan anggun. Berkulit kuning langsat dengan mata sehitam mendung sebelum hujan. Rambutnya tergerai ikal sewarna dengan mata hitamnya. Dan satu ciri khas penampilan seorang perempuan blasteran Jawa Tionghoa adalah mata sipitnya. Tak sesipit mata para perempuan keturunan Tionghoa, tapi juga tak selebar mata perempuan Jawa. Tubuhnya tipe tubuh yang memang disukai Pram. Tak terlalu kurus, tapi tidak cukup sexy. Kaki yang panjang membuat penampilan Mia memiliki nilai lebih. Kesimpulan Elang, perempuan ini sangat Pram tapi seperti dugaanya pula, bukan tipenya sama sekali.

Elang melihat seberapa cinta matinya Pram pada kekasihnya itu. Dan mata penuh kekaguman dan cinta itu belum pernah sekali pun dilihat Elang sebelumnya. Tatapan itu hanya untuk Mia. Selisih usia mereka bahkan tidak cukup menjadi halangan untuk lelaki seperti Pram yang biasanya main aman pada semua perempuan-perempuannya selama ini. Bahkan lampu merah dari orang tua Mia juga tak menyurutkan langkahnya. Lelaki dengan harga diri yang seperti puncak mahameru seperti sahabatnya itu takluk di relung hati seorang perempuan muda bernama Arundhita Amelia atau Mia.

Sebagai sahabat Elang kuatir pada cinta sahabatnya. Judgment pada seorang penyanyi club mau tak mau mengusiknya. Siapa yang tidak tahu dunia malam itu seperti apa. Dan Jogja bukan perekecualian. Perempuan-perempuan pengincar uang bukan hal baru di dunia ini. Dan Mia tahu betul bagaimana Elang menyangsikan perasaanya.

”Kamu gak perlu kuatir kok, Mas,” kata Mia saat itu, ”Aku mungkin pekerja malam, tapi aku tidak suka main-main. Sampai saat ini Pram yang pertama.” entah kenapa Elang percaya pada gadis itu. Elang mempercayakan sahabatnya pada gadis yang baru menginjak umur 20nya saat mereka tunangan.

Tak terasa Elang sudah memasuki perbatasan Jogja. Tak butuh waktu lama untuk menemukan rumah Mia di bilangan Jakal. Begitu baleno hitam itu terparkir dengan mulus, Elang segera berlari masuk ke rumah bergaya joglo itu. Aneh juga kalau dipikir-pikir. Ayah Mia jelas keturunan Tionghoa. Tapi rumah mereka sangat Jawa. Mungkin ini yang dibilang orang pengaruh perempuan dalam rumah tangga. Dan kalau itu benar, maka terlihat ibu Mia cukup demokratis dengan terlihatnya dekorasi keramik-keramik china dan lampion-lampion yang bersanding bersama lampu-lampu tradisonal Jawa yang entah apa namanya.

”Lama banget sih, Bro?” bisik Pram yang hanya dijawab cengiran kuda oleh Elang. Dan tak menunggu lama upacara pertunangan tradisional itu pun dimulai. Pram jelas terlihat sangat bahagia. Begitu pula dengan Mia. Dan tak elak Elang pun merasakan bahagia yang sama dengan sahabatnya.

”Selamat ya, Bro” kata Elang tulus. Pram dengan senyum sumringahnya memeluk sahabatnya tanpa ragu.

”Thanks, Bro.” jawab Pram dengan nada yang sama tulusnya. Dua sahabat ini terlarut dalam keharuannya masing-masing.

Pram tahu betul usaha Elang untuk tetap berada di sampingnya di saat-saat pentingnya. Bayangkan saja, week days, dan Elang harus melajukan mobilnya tepat sepulang kantor agar bisa sampai di rumah Mia tepat jam delapan. Sementara itu di dalam benaknya Elang harus mengakui sekali lagi keteguhan sahabatnya. Demi Mia, lelaki yang tak pernah percaya pada mitos, takhayul, klenik dan sebangsanya itu tunduk dengan hitungan primbon Jawa keluarga calon pengantinya. Elang ingat, dia tertawa paling keras dan paling lama saat Pram dan Mia menceritakan hal ihwal rencana pertunangan mereka.

Monday, September 20, 2010

Part 1: Setelah tahun pertama

Seorang perempuan di sebuah meja makan besar. Bertaplak katun putih dengan bordir bunga-bunga nan indah di pinggiranya. Berbagai makanan istimewa terhidang di meja makan kokoh dari kayu jati tua itu. Perempuan yang duduk di ujungnya kembali melihat jarum Casio di pergelangan tangan kirinya. Pukul sebelas malam dan lelaki yang ditunggunya belum juga datang. Di dinding ruang itu tergantung besar foto pengantin mereka setahun yang lalu. Seorang lelaki matang dengan mata yang teduh dan seorang perempuan cantik berparas lebih dari indah. Keduanya berbalut busana pengantin jawa.

Masih teringat dengan jelas ketika pernikahan itu terjadi. Bahkan dalam ingatan perempuan itu juga masih teringat jelas bagaimana mereka berdua saling mengenal.satu setengah tahun sebelum pernikahan itu terjadi. Setiap detiknya. Setiap adegannya. Bahkan bagaimana perasaannnya waktu itu pun masih sangat terasa. Seperti sebuah film berkualitas blueray.

Mata perempuan itu beralih dari dinding ke meja makan. Sebuah meja makan kokoh. Terbuat dari kayu jati tua yang dipelitur gelap. Berukir indah dan klasik. Meja itu memiliki enam buah kursi. Sebuah meja makan yang dipersiapkan untuk sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang lengkap. Dan itulah harapan semua orang. Paling tidak orang-orang disekitarnya.

Perempuan itu mendesahkan keluhannya. Berusaha membuang sesak di hatinya sendiri. Pikiran tentang sebuah keluarga itu menyesakkannya. Membuat hatinya kacau. Perasaannya bercampur aduk. Ada marah, ada tanda tanya, ada kebingungan, ada ketakutan, ada kesedihan yang semuanya bergulat di ruang yang sama yang sayangnya tidak cukup luas.

”Apa kamu sudah isi, nduk?” tanya ibu mertuanya saat perempuan itu bertandang ke rumahnya mengantar sekedar makanan syukuran usia pernikahannya. Perempuan itu terdiam dan menunduk dalam-dalam. Ibu mertuanya menghela nafas, ”Cepat-cepatlah punya anak, nnduk! Biar Elang makin sayang sama kamu. Dia itu suka anak kecil,” lanjut perempuan yang meski sudah tidak muda, tetapi masih cantik itu. Menantunya hanya mengangguk lemah.

Perempuan yang menjadi menantu itu mengeluh sekali lagi. Tak berapa lama desah keluhan itu berubah menjadi senyum sinis.

”Bagaimana seorang perempuan bisa hamil kalau sejak malam pertama pernikahannya, suami yang dipujanya tak pernah menyentuhnya?” jerit perempuan itu dalam hatinya sendiri. Dan air mata itu menitik, ”apa yang salah denganku?” tanyanya.

Bukan berarti perempuan itu tak pernah menanyakan keadaan ini pada suaminya. Suami yang tampan, matang, dan setle. Suami yang dipujanya bahkan sejak pertama mereka berkenalan. Lelaki yang tak hanya begitu baik padanya tapi juga mampu membuat semua perempuan memandang iri padanya.

”Aku tidak bisa. Tidak sekarang. Beri aku waktu,” hanya itu yang dikatakan lelaki itu. Kalimat yang membuatnya tak sanggup mengatakan apapun. Kalimat yang membuatnya semakin kacau.

Jam di ruang tamu rumah perempuan itu berdentang genap dua belas kali. Suara dentangan yang membahana ke seluruh rumah yang tak bisa dibilang kecil itu. Perempuan itu masih menitikkan air matanya. Dalam isaknya yang tertahan terdengar bisikan yang nyaris tak tak memiliki vibrasi.

”Happy first anyversary, Mas.”

Di sebuah club malam terkenal di sebuah sudut kota Semarang. Seorang lelaki duduk sendirian di sebuah sofa di sudut tempat itu. Musik yang menghentak degub jantung sudah berganti dengan sebuah band lokal kota itu. Orang-orang masih menikmati dance floor mereka. Lighting masih memenuhi ruangan yang semakin panas. Lelaki itu mashi mengenakan kemeja yang sejak tadi pagi melekat di tubuhnya. Sebatang rokok terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya. Sebatang rokok yang sudah jarang sekali dihisapnya.

”Mau satu shot lagi?” tanya seorang lelaki lain yang menghampirinya. Lelaki yang sedang menikmati rokok langsing putihnya menggeleng dan tersenyum.

”Masih di sini?” tanyanya tanpa perlu jawaban. Lelaki yang baru saja datang itu meletakkan pantatnya dan menemukan tempat nyamannya.

”Aku yang harusnya tanya kenapa kamu masih disini. Istrimu pasti sudah menunggu di rumah, Bro,” kata lelaki yang baru datang itu.

”Aku belum ingin pulang,” jawab lelaki dengan rokok itu ringan. Lawan bicaranya hanya tersenyum pengertian. Lelaki itu mengeluarkan rokok favoritnya sendiri. Aroma kretek yang klasik memenuhi rongga hidung mereka.

Musik masih memenuhi kepala setiap orang yang ada di situ. Band lokal sudah berganti dengan beberapa sexy dancer berpakaian minim dengan sentuhan metalik di sana sini. Malam makin larut dan club itu makin panas. Seorang perempuan yang baru saja menjadi vokalist band menghampiri mereka sambil membawa segelas margarita. Sebuah kecupan mendarat di bibir sang penikmat kretek. Lelaki penikmat rokok putih itu menatap tajam ke arah stage. Tapi mata itu tak menatap apa pun.

”Dia sudah tidak pernah muncul ya?” gumamnya. Sang penikmat kretek dan vocalist bertukar bayang. Mereka tahu benar siapa yang dimaksud lelaki ini.

“Iya, sudah sebulan. Aku sudah minta Mia buat cari tahu, tapi Mia juga gak dapat kabar apa-apa,” jawab sang penikmat kretek yang sudah memeluk kekasih vocalist nya.

“Iya, aku sudah cari. Dia gak ada di kampus. Dosen gak ada yang tahu, anak-anak BEM juga gak ada yang tahu. Anak-anak teater juga nyariin dia. Dia sudah dua bulan keluar dari kos. Dia seperti ditelan bumi,” jawab vokalist yang dipanggil Mia itu.

”Padahal melihat dia bergerak di depan sana saja aku sudah puas. Sudah cukup untukku. Lebih dari cukup.” gumam lelaki yang kemudian menenggak minumannya sekali lagi sebelum menghisap rokoknya dalam-dalam. Sekali lagi sepasang anak manusia lain di sofa itu saling bertatapan. Mereka berbagi desah dalam keluhan yang sama melihat sang sahabat di depan mereka .

”Aku mau ganti baju lalu kita pulang ya!” seru Mia. Tak hanya karena lelah dengan pekerjaannya tapi juga jengah dengan kesedihan yang membayang di tengah keramaian tempat itu. Kekasihnya tersenyum sementara lelaki yang lain mengangguk enggan.

”Kita antar deh, aku gak tenang lihatin kamu,” ujar sang penikmat kretek kemudian beralih pada kekasihnya, ”kamu gak keberatan kan sayang?” dan perempuannya menggeleng disertai senyum yang menyenangkan.

Lama setelah mereka berdua sendiri di sebuah apartemen mewah di sebuah daerah perbukitan di kota yang sama. Mia keluar dari kamar mandi dengan berbalut gaun tidur satin yang lembut berwarna putih bersih. Kekasihnya sudah menunggu diatas tempat tidur indah mereka. Dengan mengandalkan lampu redup di kepala tempat tidur, perempuan itu menyusup di pelukan kekasihnya.

”Aku sedih lihat dia, Pram. Aku tahu dia merindukan Lara. Tapi Lara sudah wanti-wanti sama aku. Lagi pula aku pikir apa yang dikatakan Lara benar. Dia harus belajar melupakan Lara. Kasihan istrinya,” kata Mia. Lelaki yang dipanggil Pram itu turut menghela nafas.

”Sebagai sahabat aku tahu betul, dia cinta mati pada Lara. Tapi kamu benar, babe. Kita gak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Tapi satu hal, aku bersyukur kita tidak perlu mengalami ini,” pelukan Pram makin erat pada kekasihnya sebelum mereka benar-benar terlelap dalam dekapan masing-masing.