Monday, September 20, 2010

Part 1: Setelah tahun pertama

Seorang perempuan di sebuah meja makan besar. Bertaplak katun putih dengan bordir bunga-bunga nan indah di pinggiranya. Berbagai makanan istimewa terhidang di meja makan kokoh dari kayu jati tua itu. Perempuan yang duduk di ujungnya kembali melihat jarum Casio di pergelangan tangan kirinya. Pukul sebelas malam dan lelaki yang ditunggunya belum juga datang. Di dinding ruang itu tergantung besar foto pengantin mereka setahun yang lalu. Seorang lelaki matang dengan mata yang teduh dan seorang perempuan cantik berparas lebih dari indah. Keduanya berbalut busana pengantin jawa.

Masih teringat dengan jelas ketika pernikahan itu terjadi. Bahkan dalam ingatan perempuan itu juga masih teringat jelas bagaimana mereka berdua saling mengenal.satu setengah tahun sebelum pernikahan itu terjadi. Setiap detiknya. Setiap adegannya. Bahkan bagaimana perasaannnya waktu itu pun masih sangat terasa. Seperti sebuah film berkualitas blueray.

Mata perempuan itu beralih dari dinding ke meja makan. Sebuah meja makan kokoh. Terbuat dari kayu jati tua yang dipelitur gelap. Berukir indah dan klasik. Meja itu memiliki enam buah kursi. Sebuah meja makan yang dipersiapkan untuk sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang lengkap. Dan itulah harapan semua orang. Paling tidak orang-orang disekitarnya.

Perempuan itu mendesahkan keluhannya. Berusaha membuang sesak di hatinya sendiri. Pikiran tentang sebuah keluarga itu menyesakkannya. Membuat hatinya kacau. Perasaannya bercampur aduk. Ada marah, ada tanda tanya, ada kebingungan, ada ketakutan, ada kesedihan yang semuanya bergulat di ruang yang sama yang sayangnya tidak cukup luas.

”Apa kamu sudah isi, nduk?” tanya ibu mertuanya saat perempuan itu bertandang ke rumahnya mengantar sekedar makanan syukuran usia pernikahannya. Perempuan itu terdiam dan menunduk dalam-dalam. Ibu mertuanya menghela nafas, ”Cepat-cepatlah punya anak, nnduk! Biar Elang makin sayang sama kamu. Dia itu suka anak kecil,” lanjut perempuan yang meski sudah tidak muda, tetapi masih cantik itu. Menantunya hanya mengangguk lemah.

Perempuan yang menjadi menantu itu mengeluh sekali lagi. Tak berapa lama desah keluhan itu berubah menjadi senyum sinis.

”Bagaimana seorang perempuan bisa hamil kalau sejak malam pertama pernikahannya, suami yang dipujanya tak pernah menyentuhnya?” jerit perempuan itu dalam hatinya sendiri. Dan air mata itu menitik, ”apa yang salah denganku?” tanyanya.

Bukan berarti perempuan itu tak pernah menanyakan keadaan ini pada suaminya. Suami yang tampan, matang, dan setle. Suami yang dipujanya bahkan sejak pertama mereka berkenalan. Lelaki yang tak hanya begitu baik padanya tapi juga mampu membuat semua perempuan memandang iri padanya.

”Aku tidak bisa. Tidak sekarang. Beri aku waktu,” hanya itu yang dikatakan lelaki itu. Kalimat yang membuatnya tak sanggup mengatakan apapun. Kalimat yang membuatnya semakin kacau.

Jam di ruang tamu rumah perempuan itu berdentang genap dua belas kali. Suara dentangan yang membahana ke seluruh rumah yang tak bisa dibilang kecil itu. Perempuan itu masih menitikkan air matanya. Dalam isaknya yang tertahan terdengar bisikan yang nyaris tak tak memiliki vibrasi.

”Happy first anyversary, Mas.”

Di sebuah club malam terkenal di sebuah sudut kota Semarang. Seorang lelaki duduk sendirian di sebuah sofa di sudut tempat itu. Musik yang menghentak degub jantung sudah berganti dengan sebuah band lokal kota itu. Orang-orang masih menikmati dance floor mereka. Lighting masih memenuhi ruangan yang semakin panas. Lelaki itu mashi mengenakan kemeja yang sejak tadi pagi melekat di tubuhnya. Sebatang rokok terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya. Sebatang rokok yang sudah jarang sekali dihisapnya.

”Mau satu shot lagi?” tanya seorang lelaki lain yang menghampirinya. Lelaki yang sedang menikmati rokok langsing putihnya menggeleng dan tersenyum.

”Masih di sini?” tanyanya tanpa perlu jawaban. Lelaki yang baru saja datang itu meletakkan pantatnya dan menemukan tempat nyamannya.

”Aku yang harusnya tanya kenapa kamu masih disini. Istrimu pasti sudah menunggu di rumah, Bro,” kata lelaki yang baru datang itu.

”Aku belum ingin pulang,” jawab lelaki dengan rokok itu ringan. Lawan bicaranya hanya tersenyum pengertian. Lelaki itu mengeluarkan rokok favoritnya sendiri. Aroma kretek yang klasik memenuhi rongga hidung mereka.

Musik masih memenuhi kepala setiap orang yang ada di situ. Band lokal sudah berganti dengan beberapa sexy dancer berpakaian minim dengan sentuhan metalik di sana sini. Malam makin larut dan club itu makin panas. Seorang perempuan yang baru saja menjadi vokalist band menghampiri mereka sambil membawa segelas margarita. Sebuah kecupan mendarat di bibir sang penikmat kretek. Lelaki penikmat rokok putih itu menatap tajam ke arah stage. Tapi mata itu tak menatap apa pun.

”Dia sudah tidak pernah muncul ya?” gumamnya. Sang penikmat kretek dan vocalist bertukar bayang. Mereka tahu benar siapa yang dimaksud lelaki ini.

“Iya, sudah sebulan. Aku sudah minta Mia buat cari tahu, tapi Mia juga gak dapat kabar apa-apa,” jawab sang penikmat kretek yang sudah memeluk kekasih vocalist nya.

“Iya, aku sudah cari. Dia gak ada di kampus. Dosen gak ada yang tahu, anak-anak BEM juga gak ada yang tahu. Anak-anak teater juga nyariin dia. Dia sudah dua bulan keluar dari kos. Dia seperti ditelan bumi,” jawab vokalist yang dipanggil Mia itu.

”Padahal melihat dia bergerak di depan sana saja aku sudah puas. Sudah cukup untukku. Lebih dari cukup.” gumam lelaki yang kemudian menenggak minumannya sekali lagi sebelum menghisap rokoknya dalam-dalam. Sekali lagi sepasang anak manusia lain di sofa itu saling bertatapan. Mereka berbagi desah dalam keluhan yang sama melihat sang sahabat di depan mereka .

”Aku mau ganti baju lalu kita pulang ya!” seru Mia. Tak hanya karena lelah dengan pekerjaannya tapi juga jengah dengan kesedihan yang membayang di tengah keramaian tempat itu. Kekasihnya tersenyum sementara lelaki yang lain mengangguk enggan.

”Kita antar deh, aku gak tenang lihatin kamu,” ujar sang penikmat kretek kemudian beralih pada kekasihnya, ”kamu gak keberatan kan sayang?” dan perempuannya menggeleng disertai senyum yang menyenangkan.

Lama setelah mereka berdua sendiri di sebuah apartemen mewah di sebuah daerah perbukitan di kota yang sama. Mia keluar dari kamar mandi dengan berbalut gaun tidur satin yang lembut berwarna putih bersih. Kekasihnya sudah menunggu diatas tempat tidur indah mereka. Dengan mengandalkan lampu redup di kepala tempat tidur, perempuan itu menyusup di pelukan kekasihnya.

”Aku sedih lihat dia, Pram. Aku tahu dia merindukan Lara. Tapi Lara sudah wanti-wanti sama aku. Lagi pula aku pikir apa yang dikatakan Lara benar. Dia harus belajar melupakan Lara. Kasihan istrinya,” kata Mia. Lelaki yang dipanggil Pram itu turut menghela nafas.

”Sebagai sahabat aku tahu betul, dia cinta mati pada Lara. Tapi kamu benar, babe. Kita gak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Tapi satu hal, aku bersyukur kita tidak perlu mengalami ini,” pelukan Pram makin erat pada kekasihnya sebelum mereka benar-benar terlelap dalam dekapan masing-masing.

No comments: