Saturday, March 19, 2011

The Last Letter

Tidak biasanya malam di Surabaya menjadi begitu dingin untuk Fey. Perempuan muda itu menggelung tubuhnya di balik bed cover tebal. Computer portable masih menyala di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Modem mungil bahkan masih tertancap di lubang usbnya. Layar 10” itu masih saja menampilkan halaman surat elektronik yang hanya berisi alamat seseorang. Jo_2008@xxxx.com alamat yang dihafalnya di luar kepala seperti juga ketika ia menghafal no telp pemilik alamat itu. Fey menatap layar komputernya. Suara pria itu masih terngiang jelas di telinganya, terekam dengan baik di otaknya. Bahkan gambaran kejadian sekian jam yang lalu pun masih segaa di depan matanya. Fey mengerang sebelum akhirnya bangkit dan memainkan jarinya di atas keybord computer itu dengan cepat.

“Dear Jo,

Its not easy to write this email. But I must do it I guess.

Kamu pasti tahu kalau aku kaget banget malam ini. Mendengar suara kamu setelah berbulan-bulan kita lost contact begitu saja adalah salah satu alasannya. Alasan lain pastinya karena maksud telfonmu. Aku tidak tahu Jo, apa kamu menelponku dengan sadar atau sedikit mabuk? Semoga kamu tidak mulai minum ya, karena setahuku bagimu itu haram. Tapi kita toh sudah melakukan banyak hal yang “haram” menurutmu. Rasanya tak perlu juga aku menyebutkannya satu per satu bukan?

Jo, mengenal kamu adalah salah satu hal yang menyenangkan bagiku. Mungkin salah satu anugerah yang DIA berikan untukku. Anugerah yang mengingatkan aku bahwa segala kebaikan dalam diriku dan dirimu ternyata tidak cukup untuk kita. Tidak akan pernah cukup. Kamu baik Jo, dan dengan narsis aku cukup tahu bahwa aku cukup baik. Dan jika kita bicara tentang cinta. Kita sama-sama tahu bahwa cinta itu ada. Tapi kita juga sama-sama tahu kalau cinta saja tidak cukup. Tidak di negera ini. Tidak ketika cinta itu membutuhkan pengorbanan-pengorbanan prinsip yang ternyata tidak kecil.

Tidak Jo, cintaku tidak cukup untuk semua itu. Cintaku tidak cukup besar untuk melihat air mata di sudut mata Ayahku karena beliau tidak akan bisa mendampingi putri pertamanya. Cintaku juga tidak cukup egois untuk meneguhkan hati dan diri melihat kesedihan di mata orang tua kamu melihat anak pertamanya berjalan menuju altar. Sepertinya cinta yang aku punya jelas tidak cukup.

Jo, seandainya bahagiaku bersamamu bisa dibeli, aku akan membelinya. Tapi apakah kamu mau membelinya? Maukah kamu melangkah bersamaku diluar garis yang diajarkan padamu sejak kecil? Mampukah kamu berjalan bersamaku dan melepaskan impian lelakimu di belakang sana? Dan dari matamu setiap kali kita membicarakan ini aku tau kamu tidak bisa. Itu mimpimu, itu langkah yang ingin kamu jalani. Kamu tidak akan bisa melepaskan itu semua, bahkan untukku.

Lepaskan aku Jo. Lupakan apa yang pernah terjadi. Segala hal baik dan segala “dosa” yang pernah terjadi. Kamu layak mendapatkan perempuan itu. Perempuan yang mampu menjalani seluruh mimpi itu bersamamu. Tapi perempuan itu bukan aku.

Best regards,

Fey”

Fey menekan tombol send dengan mata membayang. Layar komputernya sudah terlihat kabur sejak tadi. Ini email terakhirnya untuk lelaki itu, teguh nya dalam hati. Rasa sesak di dadanya meledak menjadi guncangan pelan di bahunya. Sepasang sungai kecil mengalir begitu saja. This love is never enough. Either for you or for me. Not even for this country. Dan perempuan itu menutup emailnya tanpa peduli lagi apakah dia menerima balasan email tersebut atau tidak. Baginya segala kisah itu sudah selesai.

Tuesday, September 21, 2010

Part 2: Kaliurang Km sekian (1)

Mobil hitam melaju dengan cepat berebut waktu dengan senja yang tak mau menunggu. Tubuh pengendali kereta besi itu menegang menatap matahari yang tak mau berkompromi. Elang berhenti di sisi jalan yang cukup lebar menampung Baleno hitamnya. Lelaki itu menghela nafas panjang. Perjalanannya bahkan belum sampai setengah. Lelaki itu tak suka saat harus menunggu senja seperti ini karena mata minusnya harus membiasakan diri dengan cahaya yang berubah. Tapi dia juga tak mau lama-lama istirahat. Jalan raya dari Semarang ke Jogja sama sekali tidak menyenangkan saat malam hari. Dia tidak sudi membiarkan Balenonya harus melawan kecepatan berbagai kendaraan berat yang mulai keluar sarang selesai pukul delapan.

Baby you’re that I want....

Melodi awal dari ringtone komunikatornya membuat lelaki itu menyambar benda kotak itu segera. Nama Pram, sahabatnya bertengger dengan indah di LCD yang menyala. Lelaki itu segera menjawabnya.

“Apa, Pram?” tanya lelaki itu.

”Sampai mana, Bro?” jawab suara di sebrang sana.

”Baru masuk Magelang,” jawab Pram,

”Ok, buruan!” dan telpon itu terputus dengan seenaknya. Elang mengutuk sahabatnya dalam hati. Kalau bukan Pram, dia pasti tak akan sudi jauh-jauh ke Jogja tepat saat long week end seperti ini. Tapi Pram bisa membunuhnya kalau dia sampai tidak datang ke pertunangan sahabatnya itu.

Elang dan Pram. Dua lelaki berbeda jalan yang diikat dengan sebuah label kehidupan. Persahabatan. Persahabatan yang sudah terjalin bertahun-tahun sejak Pram dan keluarganya masih tinggal di Semarang dan belum pindah ke Jogja. Persahabatan yang terjalin dengan surat demi surat kertas. Persahabatan yang tetap bertahan ketika teknologi bernama ponsel dan email sama-sama mereka kenal. Persahabatan yang tak tergoyahkan. Persahabatan yang pernah membawa Pram nekat bolos dan mengendarai motornya ke Semarang begitu mendengar Elang masuk Tlogorejo karena DB saat mereka masih sama-sama SMP. Persahabatan yang membuat Elang nekat menerima hukuman orang tuanya saat Pram masuk Panti rapih karena kecelakaan sehari sebelum ujian kelulusan SMA. Persahabatan yang menghasilkan hal-hal gila yang membuat mereka tertawa bersama dan bersedih bersama.

Persahabatan itu pula yang membawa Elang sekarang mengendarai Balenonya ke kota gudeg. Mengingat ide pertunangan Pram, Elang mau tak mau tersenyum juga. Dia cukup mengenal Pram dan orang yang mengenal Pram dengan baik tak akan menduga dia akan memutuskan untuk bertunangan di usia 25 tahun. Elang masih ingat dengan pasti ketika Pram memperkenalkan Mia.

”Kamu harus kenal sama dia, Lang. Tapi kamu gak boleh suka sama dia,” kata Pram waktu itu.

”Memangnya pernah aku suka ma perempuan-perempuanmu itu?” balas Elang cuek meskipun sejujurnya dia penasaran setengah mati pada sosok Mia yang sudah sebulan mengisi perbincangan telpon, chat, dan email dari Pram. Ada kesan Pram memuja perempuannya yang satu ini. Seorang penyanyi cafe di Jogja kata Pram waktu itu. Berarti bukan perempuan jelek. Kuliah di ISI Jogjakarta jurusan seni musik tahun pertama dan baru menginjak 18 tahun. Artinya bukan perempuan bodoh. Cerdas dan cantik. Kombinasi yang selalu disukai Pram. Dan malam itu Elang membuktikannya sekali lagi ketika melihat kedatangan perempuan bernama Mia.

Seperti dugaannya semula. Mia perempuan yang cantik dan anggun. Berkulit kuning langsat dengan mata sehitam mendung sebelum hujan. Rambutnya tergerai ikal sewarna dengan mata hitamnya. Dan satu ciri khas penampilan seorang perempuan blasteran Jawa Tionghoa adalah mata sipitnya. Tak sesipit mata para perempuan keturunan Tionghoa, tapi juga tak selebar mata perempuan Jawa. Tubuhnya tipe tubuh yang memang disukai Pram. Tak terlalu kurus, tapi tidak cukup sexy. Kaki yang panjang membuat penampilan Mia memiliki nilai lebih. Kesimpulan Elang, perempuan ini sangat Pram tapi seperti dugaanya pula, bukan tipenya sama sekali.

Elang melihat seberapa cinta matinya Pram pada kekasihnya itu. Dan mata penuh kekaguman dan cinta itu belum pernah sekali pun dilihat Elang sebelumnya. Tatapan itu hanya untuk Mia. Selisih usia mereka bahkan tidak cukup menjadi halangan untuk lelaki seperti Pram yang biasanya main aman pada semua perempuan-perempuannya selama ini. Bahkan lampu merah dari orang tua Mia juga tak menyurutkan langkahnya. Lelaki dengan harga diri yang seperti puncak mahameru seperti sahabatnya itu takluk di relung hati seorang perempuan muda bernama Arundhita Amelia atau Mia.

Sebagai sahabat Elang kuatir pada cinta sahabatnya. Judgment pada seorang penyanyi club mau tak mau mengusiknya. Siapa yang tidak tahu dunia malam itu seperti apa. Dan Jogja bukan perekecualian. Perempuan-perempuan pengincar uang bukan hal baru di dunia ini. Dan Mia tahu betul bagaimana Elang menyangsikan perasaanya.

”Kamu gak perlu kuatir kok, Mas,” kata Mia saat itu, ”Aku mungkin pekerja malam, tapi aku tidak suka main-main. Sampai saat ini Pram yang pertama.” entah kenapa Elang percaya pada gadis itu. Elang mempercayakan sahabatnya pada gadis yang baru menginjak umur 20nya saat mereka tunangan.

Tak terasa Elang sudah memasuki perbatasan Jogja. Tak butuh waktu lama untuk menemukan rumah Mia di bilangan Jakal. Begitu baleno hitam itu terparkir dengan mulus, Elang segera berlari masuk ke rumah bergaya joglo itu. Aneh juga kalau dipikir-pikir. Ayah Mia jelas keturunan Tionghoa. Tapi rumah mereka sangat Jawa. Mungkin ini yang dibilang orang pengaruh perempuan dalam rumah tangga. Dan kalau itu benar, maka terlihat ibu Mia cukup demokratis dengan terlihatnya dekorasi keramik-keramik china dan lampion-lampion yang bersanding bersama lampu-lampu tradisonal Jawa yang entah apa namanya.

”Lama banget sih, Bro?” bisik Pram yang hanya dijawab cengiran kuda oleh Elang. Dan tak menunggu lama upacara pertunangan tradisional itu pun dimulai. Pram jelas terlihat sangat bahagia. Begitu pula dengan Mia. Dan tak elak Elang pun merasakan bahagia yang sama dengan sahabatnya.

”Selamat ya, Bro” kata Elang tulus. Pram dengan senyum sumringahnya memeluk sahabatnya tanpa ragu.

”Thanks, Bro.” jawab Pram dengan nada yang sama tulusnya. Dua sahabat ini terlarut dalam keharuannya masing-masing.

Pram tahu betul usaha Elang untuk tetap berada di sampingnya di saat-saat pentingnya. Bayangkan saja, week days, dan Elang harus melajukan mobilnya tepat sepulang kantor agar bisa sampai di rumah Mia tepat jam delapan. Sementara itu di dalam benaknya Elang harus mengakui sekali lagi keteguhan sahabatnya. Demi Mia, lelaki yang tak pernah percaya pada mitos, takhayul, klenik dan sebangsanya itu tunduk dengan hitungan primbon Jawa keluarga calon pengantinya. Elang ingat, dia tertawa paling keras dan paling lama saat Pram dan Mia menceritakan hal ihwal rencana pertunangan mereka.

Monday, September 20, 2010

Part 1: Setelah tahun pertama

Seorang perempuan di sebuah meja makan besar. Bertaplak katun putih dengan bordir bunga-bunga nan indah di pinggiranya. Berbagai makanan istimewa terhidang di meja makan kokoh dari kayu jati tua itu. Perempuan yang duduk di ujungnya kembali melihat jarum Casio di pergelangan tangan kirinya. Pukul sebelas malam dan lelaki yang ditunggunya belum juga datang. Di dinding ruang itu tergantung besar foto pengantin mereka setahun yang lalu. Seorang lelaki matang dengan mata yang teduh dan seorang perempuan cantik berparas lebih dari indah. Keduanya berbalut busana pengantin jawa.

Masih teringat dengan jelas ketika pernikahan itu terjadi. Bahkan dalam ingatan perempuan itu juga masih teringat jelas bagaimana mereka berdua saling mengenal.satu setengah tahun sebelum pernikahan itu terjadi. Setiap detiknya. Setiap adegannya. Bahkan bagaimana perasaannnya waktu itu pun masih sangat terasa. Seperti sebuah film berkualitas blueray.

Mata perempuan itu beralih dari dinding ke meja makan. Sebuah meja makan kokoh. Terbuat dari kayu jati tua yang dipelitur gelap. Berukir indah dan klasik. Meja itu memiliki enam buah kursi. Sebuah meja makan yang dipersiapkan untuk sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang lengkap. Dan itulah harapan semua orang. Paling tidak orang-orang disekitarnya.

Perempuan itu mendesahkan keluhannya. Berusaha membuang sesak di hatinya sendiri. Pikiran tentang sebuah keluarga itu menyesakkannya. Membuat hatinya kacau. Perasaannya bercampur aduk. Ada marah, ada tanda tanya, ada kebingungan, ada ketakutan, ada kesedihan yang semuanya bergulat di ruang yang sama yang sayangnya tidak cukup luas.

”Apa kamu sudah isi, nduk?” tanya ibu mertuanya saat perempuan itu bertandang ke rumahnya mengantar sekedar makanan syukuran usia pernikahannya. Perempuan itu terdiam dan menunduk dalam-dalam. Ibu mertuanya menghela nafas, ”Cepat-cepatlah punya anak, nnduk! Biar Elang makin sayang sama kamu. Dia itu suka anak kecil,” lanjut perempuan yang meski sudah tidak muda, tetapi masih cantik itu. Menantunya hanya mengangguk lemah.

Perempuan yang menjadi menantu itu mengeluh sekali lagi. Tak berapa lama desah keluhan itu berubah menjadi senyum sinis.

”Bagaimana seorang perempuan bisa hamil kalau sejak malam pertama pernikahannya, suami yang dipujanya tak pernah menyentuhnya?” jerit perempuan itu dalam hatinya sendiri. Dan air mata itu menitik, ”apa yang salah denganku?” tanyanya.

Bukan berarti perempuan itu tak pernah menanyakan keadaan ini pada suaminya. Suami yang tampan, matang, dan setle. Suami yang dipujanya bahkan sejak pertama mereka berkenalan. Lelaki yang tak hanya begitu baik padanya tapi juga mampu membuat semua perempuan memandang iri padanya.

”Aku tidak bisa. Tidak sekarang. Beri aku waktu,” hanya itu yang dikatakan lelaki itu. Kalimat yang membuatnya tak sanggup mengatakan apapun. Kalimat yang membuatnya semakin kacau.

Jam di ruang tamu rumah perempuan itu berdentang genap dua belas kali. Suara dentangan yang membahana ke seluruh rumah yang tak bisa dibilang kecil itu. Perempuan itu masih menitikkan air matanya. Dalam isaknya yang tertahan terdengar bisikan yang nyaris tak tak memiliki vibrasi.

”Happy first anyversary, Mas.”

Di sebuah club malam terkenal di sebuah sudut kota Semarang. Seorang lelaki duduk sendirian di sebuah sofa di sudut tempat itu. Musik yang menghentak degub jantung sudah berganti dengan sebuah band lokal kota itu. Orang-orang masih menikmati dance floor mereka. Lighting masih memenuhi ruangan yang semakin panas. Lelaki itu mashi mengenakan kemeja yang sejak tadi pagi melekat di tubuhnya. Sebatang rokok terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya. Sebatang rokok yang sudah jarang sekali dihisapnya.

”Mau satu shot lagi?” tanya seorang lelaki lain yang menghampirinya. Lelaki yang sedang menikmati rokok langsing putihnya menggeleng dan tersenyum.

”Masih di sini?” tanyanya tanpa perlu jawaban. Lelaki yang baru saja datang itu meletakkan pantatnya dan menemukan tempat nyamannya.

”Aku yang harusnya tanya kenapa kamu masih disini. Istrimu pasti sudah menunggu di rumah, Bro,” kata lelaki yang baru datang itu.

”Aku belum ingin pulang,” jawab lelaki dengan rokok itu ringan. Lawan bicaranya hanya tersenyum pengertian. Lelaki itu mengeluarkan rokok favoritnya sendiri. Aroma kretek yang klasik memenuhi rongga hidung mereka.

Musik masih memenuhi kepala setiap orang yang ada di situ. Band lokal sudah berganti dengan beberapa sexy dancer berpakaian minim dengan sentuhan metalik di sana sini. Malam makin larut dan club itu makin panas. Seorang perempuan yang baru saja menjadi vokalist band menghampiri mereka sambil membawa segelas margarita. Sebuah kecupan mendarat di bibir sang penikmat kretek. Lelaki penikmat rokok putih itu menatap tajam ke arah stage. Tapi mata itu tak menatap apa pun.

”Dia sudah tidak pernah muncul ya?” gumamnya. Sang penikmat kretek dan vocalist bertukar bayang. Mereka tahu benar siapa yang dimaksud lelaki ini.

“Iya, sudah sebulan. Aku sudah minta Mia buat cari tahu, tapi Mia juga gak dapat kabar apa-apa,” jawab sang penikmat kretek yang sudah memeluk kekasih vocalist nya.

“Iya, aku sudah cari. Dia gak ada di kampus. Dosen gak ada yang tahu, anak-anak BEM juga gak ada yang tahu. Anak-anak teater juga nyariin dia. Dia sudah dua bulan keluar dari kos. Dia seperti ditelan bumi,” jawab vokalist yang dipanggil Mia itu.

”Padahal melihat dia bergerak di depan sana saja aku sudah puas. Sudah cukup untukku. Lebih dari cukup.” gumam lelaki yang kemudian menenggak minumannya sekali lagi sebelum menghisap rokoknya dalam-dalam. Sekali lagi sepasang anak manusia lain di sofa itu saling bertatapan. Mereka berbagi desah dalam keluhan yang sama melihat sang sahabat di depan mereka .

”Aku mau ganti baju lalu kita pulang ya!” seru Mia. Tak hanya karena lelah dengan pekerjaannya tapi juga jengah dengan kesedihan yang membayang di tengah keramaian tempat itu. Kekasihnya tersenyum sementara lelaki yang lain mengangguk enggan.

”Kita antar deh, aku gak tenang lihatin kamu,” ujar sang penikmat kretek kemudian beralih pada kekasihnya, ”kamu gak keberatan kan sayang?” dan perempuannya menggeleng disertai senyum yang menyenangkan.

Lama setelah mereka berdua sendiri di sebuah apartemen mewah di sebuah daerah perbukitan di kota yang sama. Mia keluar dari kamar mandi dengan berbalut gaun tidur satin yang lembut berwarna putih bersih. Kekasihnya sudah menunggu diatas tempat tidur indah mereka. Dengan mengandalkan lampu redup di kepala tempat tidur, perempuan itu menyusup di pelukan kekasihnya.

”Aku sedih lihat dia, Pram. Aku tahu dia merindukan Lara. Tapi Lara sudah wanti-wanti sama aku. Lagi pula aku pikir apa yang dikatakan Lara benar. Dia harus belajar melupakan Lara. Kasihan istrinya,” kata Mia. Lelaki yang dipanggil Pram itu turut menghela nafas.

”Sebagai sahabat aku tahu betul, dia cinta mati pada Lara. Tapi kamu benar, babe. Kita gak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Tapi satu hal, aku bersyukur kita tidak perlu mengalami ini,” pelukan Pram makin erat pada kekasihnya sebelum mereka benar-benar terlelap dalam dekapan masing-masing.

Monday, November 10, 2008

Telaga Milik Ila

"Aku suka kamu La," kalimat itu meluncur tegas di lapangan parkir sebuah kantor media terkemuka. Lelaki yang baru saja mengucapkannya menatap punggung Ila, gadis yang baru beberapa langkah meninggalkannya. langkah gadis chuby itu terhenti. pelan tubuh itu berbalik. ditatapnya lelaki itu lekat lekat seolah mencari canda dimata hitam yang sekelam malam yang menyelimuti mereka.
"Kamu pasti bercanda," kata perempuan itu.
"Aku gak pernah bercanda untuk yang satu ini. aku suka kamu. dan itu sudah lama." tegas lelaki itu. Ila terdiam. begitu juga dengan lelaki yang kini ada di depannya. dan Ila menyesal telah mampir ke kantor media dan bertemu dengan lelaki didepanya malam itu.
"begitu ya..." kalimat itu menggantung tak selesai. dan Ila memang tak bermaksud menyelesaikanya. gadis itu membalikan tubuhnya dan mulai melangkah lagi ketika tiba2 pergelangan tangannya diraih lelaki itu.
"kamu tidak bisa pergi begitu saja setelah mendengar ini La." kata lelaki itu.
"lalu aku harus bagaimana?" tanya Ila.
"aku tahu rasa itu ada di hati kamu juga La," kata lelaki itu.
Ila tersenyum. manis, tapi dingin. "Kamu terlalu percaya diri Vid," katanya usai senyum itu menghilang.
"at least say somthing La," David memohon
"I already say something," jawab Ila tetap dengan nada dingin di suaranya. dan David lemas. Ila kembali berbalik dan melangkahkan kakinya seringan biasanya seolah tak ada yang terjadi. David lemas bersandar pada motornya menatap punggung gadis yang segera menghilang di balik gerbang kantor media tempat mereka bekerja.

David, lelaki tampan dan mapan. seorang layouter salah satu media terbesar di negeri ini. sekaligus seorang fotografer handal. semua cukup membuat lelaki itu hanya tinggal menyebut perempuan mana yang ingin ditaklukanya dan mereka akan datang dengan sendirinya. lelaki yang tidak pernah ditolak kehadirannya. dan tidak seperti kebanyakkan teman jurnalis atau teman media yang lain. David tipe lelaki yang rapi dan bersih. dan itu menjadi nilai plus yang lain.
Ila. seorang gadis biasa. berperawakan biasa tapi sedikit chuby. penulis yang baik, tetapi editor yang jauh lebih baik. ceria dan manis. tapi cukup dingin untuk mematahkan hati paling tidak dua pria di kantor media itu. perempuan yang dulu diremehkan. acuh tak acuh saat meeting. namun berani melawan pada siapapun saat dia tau dia berdiri pada sisi yang benar. bahkan kepala editor media tempat bernaung pun tak luput dari Ila. saat seperti itu terkadang orang2 di kantor lupa bahwa Ila cuma anak semester kuliahan semester awal.
Ila dan David. sepasang anak manusia yang dipertemukan entah oleh takdir Tuhan atau jalan setan. mereka bertemu saat Ila mengambil honor tulisannya yang kesekian. dua pasang mata itu bertatap saat bertemu di depan pintu Pak Lukas sang kepala Editor. David memandang sekilas pada perempuan yang saat itu masih mengenakan baju putih hitam khas mahasiswa baru. hanya sekilas karena memang Ila bukan tipe gadis yang biasa didekatinya. tapi sepasang mata coklat gelap nan bening itu membuatnya bertahan sedikit lebih lama.
"maaf mas, Pak Lukasnya ada?" tanya Ila waktu itu. David terkesiap. kejut itu menghampiri wajahnya.
"oh, cari pak Lukas? ada tuh, barusan aku ketemu," jawab David seringan mungkin.
"makasih," jawab gadis itu dengan senyum mengambang memamerkan sepasang lesung pipit. Ila menghilang di balik pintu bercat coklat di belakang David.
lelaki itu sudah hampir melangkah keluar usai menggoda sekertaris sang kepala Editor saat si ibu sekertaris memanggilnya kembali.
"mas David dipanggil bapak tuh," panggil sekertaris yang memang sudah ibu2 itu.
aneh pikir David. tapi tak urung berbalik juga menuju kantor itu. dan di dalam gadis itu tiba-tiba berdiri.
"David kenalin ini Ila, Ila ini David," pak Lukas memperkenalkan mereka berdua. Ila tersenyum sekali lagi dan menglurkan tangannya menyambut tangan David yang lebih dulu terulur. "kamu tolongin jadi fotografer dadakan di kampus Ila ya Vid. candid aja. biar Ila yang urus artikel soal ospek dari segi peserta.ok?"
"honornya nambah ya pak?" canda David pada atasanya. dan mereka tertawa sementara Ila hanya tersenyum."tapi tumben pak, aku dapat partner anak kecil gini." dan Ila langsung memasang muka cemberutnya. sekali lagi dua lelaki didepannya tertawa.
dan itulah awalnya. sebuah pertemanan yang biasa. hanya rekan kerja yang sekali dua kali terlibat proyek yang sama. sampai suatu ketika Deny salah seorang layouter menghampirinya setelah dua tahun Ila menjabat sebagai freelance writer di kantornya.
"kamu jadian gak sih Vid sama Ila?" tanya Deny setelah basa basi gak jelas di meja David.
"aku sama Ila? kamu gak salah tanya? ya gak mungkin lah aku jadian ma cewe kayak dia," jawab David sekenanya.
"gitu ya?" renung Deny, "jadi gak masalh dong kalau aku deketin Ila?" tanya Deny lagi. waktu itu David cuma tertawa keras2.
"ambil deh, gak minat ma cewe kutu buku kayak Ila," jawab David. "tapi ngapain kamu tanya aku Den?" tanya David yang mau gak mau penasaran juga.
"soalnya kalian kelihatan dekat. jadi kupikir kalian ada something," jawab Deny serius. "lagian aku gak yakin kalau kamu gak tertarik sama sekali sama Ila. secara dia pinter, manis, dan lumayan sexy kalau diliahat lihat. tapi matanya itu yang beda. matanya bening."
David termangu. sepasang mata itu memang beda. warna yang coklat gelap tanpa lapisan softlens yang bening. sepasang mata yang diakuinya indah. seperti telaga.
hari2 berikutnya sudah bisa diduga oleh David. Deny melancarkan gerakkanya. dari sekedar menawarkan pulang bareng sampai menggantikan proyek yang seharusnya dipegang David dan Ila. David sendiri tak pernah merasa keberatan sedikitpun dengan gerakan Deny yang terang-terangan. dan Ila sendiri tak pernah keberatan. gadis itu tetap seperti biasa. ceria dan menerima siapapun partnernya. belakang tak hanya Deny tapi juga Angga yang juga jurnalist junior di kantor. David melihatnya. dua pria yang bersaing terang2an. dua pria yang tiba2 berhenti begitu saja. dan Ila tetap seperti biasa. bekerja seperti biasa. berhubungan seperti biasa.
"Kamu gak ngejar Ila lagi Den?" tanya david penasaran melihat dua pria di kantornya meredakan hubungan dengan Ila.
"aku ditolak Vid ma dia," jawab Deny. "tadinya kupikir aku masih bisa dekat ma dia. tapi sepertinya memang aku gak sanggup meraih dia bro."
"jadi kamu kalah sama Angga?" tanya David setengah mencibir.
"siap bilang Angga menang? justru Angga lebih dulu ditolak karena dia nembak duluan." jawab Deny ditengah tawanya.
"sejujurnya aku heran Den sama kalian, apa yang menarik dari Ila hingga membuat kalian sebegitu getolnya ngejar dia."
"kamu harus kenal dia, bro kalau mau tau. coba deh sesekali kamu jalan bareng sama Ila. gak usah lama2. sebulan aja dan kamu akan tau apa yang membuat perempuan itu menjadi begitu spesial." sepasang bibir Deny membentuk senyum simpul.
David mengakhir obrolan itu dengan garuk-garuk kepala dengan sukses. tapi tetap tak membuat dia tertarik pada Ila. hanya satu rasa yang mengusik benaknya. penasaran. pria-pria yang ditolak Ila bukan pria2 jelek meskipun tidak ganteng banget juga. tapi jelas mereka punya nilai plus. tak mungkin satu diantara nilai plus itu tak mampu memikat Ila. cuma seorang Ila. tapi tak urung rasa penasaran itu menggelitiknya. dan bukan David namanya kalau tidak menuruti intuisinya. malam itu Ila pulang terakhir setelah mengedit beberapa artikel milik teman-teman jurnalis lain sekligus menyelesaikan artikelnya sendiri.
"pulang La?" tanya david sambil sok sibuk dengan DSLRnya.
"iya Vid, kok kamu belum pulang?" sudah sejak lama mereka tak saling memanggil dengan embel2 'mas' atau 'dek' atau apapun itu.
"iya, nih mau pulang. mau bareng?" tanya David ringan
"aku kan bawa motor." jawab Ila sambil memperlihatkan helm yang ditentangnya.
'oh," david masih sok sibuk, "btw, besok aku kebetulan mau hunting foto di kampus kamu. mau nemenin gak?" tanya David.
"hunting di sebelah mana?" tanya Ila bingung. tak terpikir ada spot yang bagus untuk fotografi di kampusnya.
"oh, random hunting aja kok. mumpung besok off," jawab David sekenanya. mengarang hal semacam ini toh tidak sulit untuknya.

Tuesday, October 7, 2008

Kesempatan Kedua

sebenarnya apa yang paling menakutkan di dunia yang besar ini? bagiku saat ini bukan lagi phobiaku yang gak masuk akal. bukan pula pekerjaan kantor sekaligus tugas kuliah yang masih menumpuk di meja kerja di kamar kosku yang cuma selebar 2x3 itu. yang saat ini kutakuti adalah apa yang akan dikatakan pria yang saat ini duduk didepanku di sebuah cafe yang sebenarnya cukup romantis ini. jawaban yang akan diberikannya setelah pertanyaan yang akuy ajukan sekitar lima menit yang lalu. pertanyaan yang sudah kusimpan hampir sebulan ini setelah aku memutuskan untuk menjalin hubungan berjudul pacaran dengan lelaki ini.
"jadi?" tanyaku akhirnya setelah lelaki di depanku itu tak juga menjawab pertanyaanku.
"apa?" tanyanya membuatku lumayan jengkel.
"Ndrie, please, you really know what i'm talking about" kataku. lelaki itu membuang nafasnya
"sebenanya apsih masalah kita Cil?" tanyanya pelan, "kupikir kita baik baik saja." dan aku benar benar dongkol mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya yang masih saja sexy itu.
"Ndrie, we are not a normal couple. absolutely not! can't you see that? i cant contact you every single time i need you. it's difficult for us to communicate each other. you seem don't want to share your live and your world with me. i'm wandering who am i almost everyday" jawabku emosi, "menurutmu bagaimana perasaanku?"
Andrie, lelaki itu menatapku lekat lekat. dari mata coklatnya aku tahu, dia tidak mengerti apa yang aku katakan.
"kamu tahu perasaanku, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, dan kamu adalah kekasihku, kita pacaraan, apa itu tidak cukup?" giliranku yang membuang nafas antara bingung dan kesal.
"Ndrie, pacaran itu berbagi. berbagi hati dan berbagi dunia. ketika aku menjadi pacarmu, aku berharap aku bisa mengenalmu, mengenal hatimu, mengenal duniamu, dan segalanya tentang kamu dengan lebih dalam. dan kenapa aku menginginkan itu? karena aku ingin kamu juga mengenalku dengan lebih dalam. dan tidak mungkin kita saling mengenal kalau tak ada komunikasi yang terjalin antara kita dengan benar. kita toh gak mungkin ketemu tiap hari. aku gak minta banyak kok, Ndrie.sebagai pacarmu aku cuma minta kamu sedikit saja berbagi denganku." balasku sepanjang rel kereta surabaya - jakarta. "kamu membuat aku ragu dengan hubungan ini,Ndrie"
lelaki itu diam. dialihkannya sepasang mata coklat nan bening bak telaga itu dari cangkir mungil espressonya pada mataku.
"beri aku kesempatan untuk memahami kamu, Ndrie." pintaku.
lelaki itu masih saja diam, menatapku lama sebelum akhirnya menghela nafasnya sekali lagi.aku tahu dia mendapati air mataku menggenang di sana.
"it seems that i forget to be a lover ya, hun?" aku diam. pertahananku runtuh. air mata itu jatuh. aku menyayangi lelaki ini. sejak awal aku mengenalnya. tapi rasa sayang itu saja ternyata tak cukup untuk mempertahankan apa yang kami punya sebulan belakangan.
"seandainya aku masih ingin mempertahankan apa yang kita punya saat ini, masih adakah kesempatan, hun?" tanyanya pelan. aku terkesiap. satu hal yang tak kusangka akan terjadi malam ini adalah kesempatan kedua yang akan diminta oleh orang sekeras kepala Andrie.
"mungkin aku tak akan segera berubah, mungkin aku akan tetap sulit berkomunikasi sama kamu, tapi boleh kah aku meminta sekali lagi waktu dan kesabaranmu? untuk mengajariku berbagi lagi, untuk mengajariku menjadi seorang kekasih lagi. maukah hun?" tanyanya. tanganku digenggamnya erat. wajahnya kabur oleh air mata yang terus saja mengalir dengan tak sopan di atas kulit pipiku. dan aku mengangguk.
"kesempatan kedua dan terakhir?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan tegasnya.
dan malam ini tak lagi menakutkan............

Monday, September 8, 2008

Kubunuh dia karena cinta

malam begitu larut saat beberapa orang kantor salah satu harian kotaku baru saja masuk ke gedung berlantai lima, yang memang biasa beraktivitas nyaris 24 jam penuh, termasuk aku. beberapa sapaan orang orang yang kulewati atau orang orang yang melewatiku terbalas sekedarnya demi mengejar deadline berita yang baru saja kuliput. begitu sampai meja kuletakkan tasku diatasnya dan mulai membuka lappy kesayanganku sebelum sapaan lembut play boy kantor cap tokek mampir ke mejaku.
"gimana liputannya Met?" tanya Bram dengan senyumnya yang sialnya manis banget itu.
"menurutmu gimana?" tanyaku balik, "kamu kan lebih berpengalaman dari pada aku, pasti kamu lebih tahu rasanya liputan kasus pembunuhan." lanjutku sambil mengeluarkan tape recorderku dari sarangnya di bodypack hitamku.
"setiap pembunuhan itu tidak hanya berbicara tentang cara atau metode, Met. yang terpenting adalah, dia mengungkap motive atau latar belakang pelaku melakukan pembunuhan itu. tapi sebagai seorang wartawati, kamu juga tidak boleh terlibat dengan pelaku atau object liputanmu, itu akan mempengaruhi obyektivitasmu. kamu harus mempelajari ini mulai sekarang, mumpung kamu masih calon wartawati." petuahnya panjang lebar. kalimat terakhirnya menyadarkanku dengan posisiku.

aku memang mahasiswi jurusan sastra yang sedang magang di kantor itu. setelah satu bulan hanya mengurus translate artikel yang membosankan, akhirnya sore tadi pimred memintaku menggantikan tugas seorang wartawati senior yang sedang cuti untuk melakukan liputan. tapi entah setan yang lari dari neraka atau malaikat kabur dari surga yang merasuki pimredku sehingga aku diserahi liputan pembunuhan yang baru saja terjadi sore tadi. dan sialnya kameramenku yang baik hati bernama Abraham Wicaksono alias Bram si play boy kantor cap tokek yang baru saja mengganggu ku itu ada tugas untuk mengambil gambar di tempat lain dan hanya menemaniku beberapa menit di kantor polisi.
jujur saja, kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman untuk di datangi. aku berani sumpah kesamber gledek tujuh turunan untuk hal satu ini. apalagi kalau kantor itu sedang penuh dengan orang berwajah yang menurutku menakutkan. image yang terlanjur kubangun untuk tempat yang disebut kantor polisi benar2 menyebalkan dan intolerable.
tapi saat melihat perempuan yang terduduk di sudut sel itu image itu berubah. perempuan itu menurut polisi yang bertugas saat itu bernama Marini, berasal dari sebuah kawasan elite kota tempatku belajar ini. siang tadi dia datang ke kantor polisi itu dan berkata telah membunuh anaknya dan meninggalkan anaknya di rumah di dalam kamar. dengan rambut sebahu dan baju indah dan aku tahu mahal membalut tubuhnya yang langsing, perempuan itu terlihat cantik. jauh dari image seorang pembunuh atau konsep pembunuh yang ada di otakku. polisi yang bertugas saat itu mengizinkan aku bicara dengan perempuan itu sambil mewanti wanti kalau ada apa2 aku harus segera memanggil petugas yang berjaga karena mereka belum yakin dengan kondisi kejiwaan perempuan itu.
"nama mbak siapa?" tanya perempuan bernama Marini itu mengejutkanku. seharusnya aku lah yang mulai bertanya padanya.
"Meta. saya wartawati." jawabku
"saya tahu. " sambil menunjuk pada pers id yang kupakai. perempuan ini sepertinya cukup terpelajar, batinku. "nama saya Marini."
"Kenapa mbak Marini membunuh putri mbak?" tanyaku sesopan mungkin sambil berusaha mengontrol emosiku saat itu semnetara tanganku sibuk menempatkan recorderku.
"karena aku mencintainya. karena aku harus menyelamatkan hidupnya." keningku berkerut. bukan cara yang wajar untuk menyelamatkan hidup seseorang dengan membunuhnya.
"aku menikahi lelaki itu. sepuluh tahun kuhabiskan waktu bersamanya. dan kami bahagia, Met." dia mulai bercerita, "boleh aku panggil kamu Meta?" aku mengangguk.
"Kami bahagia, Met. pernikahan yang megah, dihadiri seluruh anggota keluarga dan teman teman istimewa, dan bulan madu yang luar biasa. sepuluh tahun aku merasa pernikahanku sempurna. apalagi di tambah aku hamil setelah sekian lama menunggu. sampai delapan bulan yang lalu. bulan ke dua masa kehamilanku, kesempurnaan itu runtuh. hari itu aku pingsan. lelaki itu membawaku ke rumah sakit untuk perawatan. satu minggu kemidian dokter memberi kabar itu. aku tak hanya positif hamil, tapi juga positif HIV." aku tehenyak mendengar kisahnya.
"aku bingung, Met. virginitasku terjaga hanya untuk dia, dan sepuluh tahun aku setia. lalu dari mana datangnya bencana ini?" aku terdiam. kami berdua tahu jawabannya.
"aku bukan orang bodoh , Met. aku tahu bayi yang ada di perutku berpotensi besar mengidap virus yang sama. dan bisa kau bayangkan hidupnya Met? harus minum obat yang sma setiap hari seumur hidup, harus menghadapi penolakkan dimana2, tidak punya teman, apa lagi sahabat, dan dia perempuan Met, sama seperti aku dan kamu. lelaki mana yang mau menikahi perempuan yang bisa meracuni dan membunuh keturunannya? tidak ada, Met. tidak ada.
"aku berusaha menggugurkannya. dia tidak boleh mengalami penderitaan itu. anakku tidak berhak menderita sedalam itu. anakku tidak boleh terluka. tapi dia bertahan. dia bertahan di dalam sana. seolah melawan segala yang telah kuberikan untuk menghilangkannya. dan dia lahir. lelaki itu menggendongnya. dia bahagia. dan Maria, anakku, tersenyum. Maria tidak tahu bahwa dia akan menderita. tapi dia tak boleh menderita Met. "
aku tercenung. sesaat sebelum petugas kantor polisi memberitahuku bahwa waktuku sudah habis. kumatikan recorderku dan menatap Marini yang dibawa pergi seorang petugas wanita.
"terima kasih Met." katanya. "terima kasih." senyumnya mengembang.

aku mendengarkan kembali rekaman yang tertangkap recorderku. dan masih tidak bisa berbuat apa apa di depan lappyku yang masih menyala menghabiskan baterynya dengan percuma. Bram kembali mampir di mejaku.
"mau ikut ke kantor polisi atau aku saja yang pergi?" tanyanya.
"ada apa lagi? orang g bisa nunggu sehari untuk bikin berita kriminal ya?" gerutuku pada Bram karena mengganggu konsentrasiku yang lebih tepat dinamakan lamunanku.
"Marini, object beritamu, bunuh diri di sel. ternyata dia menyimpan obat tidur dosis tinggi di tubuhnya." aku terhenyak. aku tak mendengar lagi sisa kalimat Bram.

Wednesday, July 30, 2008

Senyum untuk Raya

Langit kampus yang memerah tak juga membuat ku beranjak dr ruang pkm kampus yang mulai sepi karena anak2 mulai ambil wudhu untuk shalat maghrib. aku menatap kesibukan itu. menikmatinya malah. haya saat2 seperti ini kita benar2 melihat ketakwaan teman2ku. sebejat2nya mereka, saat maghrib tiba, mereka akan mengambil wudhu dan bersiap untuk bersujud dihadapan pencipta yang mereka percayai. beberapa orang menyapaku atau hanya sekedar bercanda menitipkan ruang pkm.tak berapa lama, ruangan itu sepi, nyenyat. karena yang non muslim di kampus negeri seperti kampusku memang tak banyak. dan lebih sedikit lagi yang ikut organisasi kampus.
sejurus kulihat sosok tegak dengan tubuh kurus tapi berdada lebar menghampiriku. wajahnya tertutup senja yang beranjak malam.tanpa babibu, sosok itu mengambil tempat di sampingku di teras pkm.
"gak sholat Ray?" tanyaku
"mens" jawabnya seenak perut
"dasar" runtukku, dan kami diam.

tapi begitulah Raya. Anugrah Raya Samudra namanya. anak seorang pelaut dan seorang ibu rumah tangga biasa. kakak dari seorang gadis kecil yang baru beranjak remaja. pria yang tumbuh dengan caranya sendiri. pria yang tak pernah peduli apa kata orang. pria yang tak peduli dengan aturan apapun kecuali aturannya sendiritermasuk dalam hal beribadah. dari yang aku tahu, Raya hanya memasuki pintu masjid saat dia bahagia. lain tidak.

pria disampingku itu mengeluarkan sebatang Amild dari saku kemejanya. suara gesekan zippo membuat aku sedikit beringsut menjauh. dan pria itu tersenyum. senyum yang jarang terlihat.
"Vi........." panggilnya pelan
"hmmm?" sahutku
"kamu jarang tersenyum akhir2 ini" katanya, "kenapa?"
"lagi sedih" jawabku sekenaku
"kenapa?" tuntutnya lagi
"orang yang aku suka g peduli ma aku. jadi ngapain aku tersenyum saat aku lg bt, dy malah deket ma cewe lain" jawabku acuh
"laki2 bodoh" katanya,"dy gak tau apa yang dy lewatkan"
"hmm"
"siapa sih laki2 itu Vi?" tanyanya pensaran
"ada lah"
"aku kenal?"
"kalau kenal mau apa?"
"akan kubuat dy menyadari betapa beruntungnya memiliki kamu dan mendapatkan hati kamu"
"gt ya?" ada nada sinis yang kutahan dalam suaraku
"iya!" tegasnya, "sementara itu, tetaplah tersenyum ya Vi?" pintanya
"untuk apa?untuk siapa?"
"setidaknya untukku, senyummu bikin aku merasa ringan." lelaki itu menatapku. lekat. tak seperti biasanya. ada pedih di sana, tp juga ada harap yg berbeda. aku jengah dan memutuskan untuk beranjak apalagi anak2 yang shalat sudah kembali dari masjid.
"Ray, sadarkan dulu diri kamu sendiri betapa beruntungnya mendapatkan aku, setelah itu aku akan terus tersenyum untuk kamu, bahkan tanpa kamu meminta." kataku. ada ekspresi terkejut di wajah Ray yang biasanya dingin. ada bayangku di matanya yang hitam. ada rasa tak percaya di wajahnya. dan satu genggaman erat mengejutkan pergelangan tangan kananku.
"Kamu pacarku sejak detik ini." katanya tegas. ketegasa yang khas. ketegasan yang membuat aku tersenyum kembali. tersenyum untuknya. hanya untuknya.

Tuesday, June 17, 2008

Breaking The Chain (2)

dan begitu juga saat dia berkenalan dengan Darma, seorang pemuda dengan wajah tampan yang telihat lembut. begitu lembutnya sampai aku dan Alex merasa mereka berdua cukup serasi untuk jalan bersama. sampai suatu hari aku melihat memar di lengan kiri Sasa saat berenang bersama.
"lenganmu kenapa, Sa?" tanyaku waktu itu. sejenak kulihat kekagetan di wajah gadis itu. lengan yang putih membuat memar itu terlihat sangat jelas.
"ehm, gpp kok, Na. cm kebentur tangga aja." jawab Sasa di tengah kegugupannya. entah kenapa aku menduga kalau ada kebohongan di dalam getar suara Sasa. tapi entah kenapa juga saat itu aku tak punya keberanian untuk memberitahu Alex tentang hal itu.
sejak saat itu, semakin sering aku melihat baik luka ataupun memar di tubuh Sasa. dan gadis itu selalu menyembunyikanya dengan berbagai macam alasan tentang luka2 itu. sampai suatu hari Alex menyadari ada bekas tamparan di pipi adiknya dan sudut bibir yang meninggalkan jejak darah kering. dan pertengkaran hebatpun terjadi. Alex yang sudah terpancing emosinya segera membuat Darma babak belur dengan sukses, sementara dua hari setelahnya Sasa meninggalkan rumah tanpa kabar. sampai hari ini.

"Lex...." panggilku setelah lama terdiam di ruang tunggu menunggui dua orang yang sama2 terbaring lemah.
"hmmm..." jawabnya
"sebenarnya ada apa sih dengan Sasa? maksudku, aku tahu ini kondisi yang buruk untuk Sasa, dan thanx God she is still alive. tapi pasti ada yg lebih dr itu hingga membuat mama menjadi begitu shock." Alex terdiam mendengar pertanyaanku.
"Sasa kehilangan bayinya sebelum kebakaran itu terjadi." jawab Alex lemah, "dan keguguran itu membuat kandunganya harus diangkat." aku terdiam. terhenyak mendengar kenyataan yang jauh di luar dugaanku. Sasa tidak hanya teraniaya. sebagai perempuan, dia hancur total. tiba2 sepasang air mata mengalir begitu saja di sudut mataku. air mata yang berisi segala rasa yang campur aduk setelah mendengar jawaban kekasihku. Lelaki di sampingku itu benar, Darma harus membayar semuanya.

Friday, June 13, 2008

Breaking The Chain

siang di kota semarang masih saja sepanas biasanya ketika bulan Juni memulai harinya. aku sendiri masih berada di luar sebuah ruang ICU salah satu rumah sakit terbaik dan terbesar di kota ini. di sampingku seorang pria sedikit diatas usiaku masih saja mendekap seorang pepermpuan setengah baya yang terus saja terisak.
"pokoknya mama gak terima Lex, dia harus di hukum seberat beratnya! mama ga terima Sasa jadi begini." kata perempuan itu di tengah isaknya yang tak juga mereda sementara lelaki yang kukenal bernama Alexander itu hanya membelai pelan rambut perempuan dalam dekapannya.
sejenak aku menatap keduanya sebelum mataku bertemu dengan mata hitam lelaki itu. aku tahu, ditengah tubuh tegap yang kini mencoba tegar memeluk sang mama tercinta, lelaki itu menyimpan kepedihan yang sama sekaligus kemarahan yang aku tahu juga cukup mengerikan untuk mengirim seseorang ke kamar jenazah rumah sakit ini.
"siang tante, Lex, maaf baru bisa ke sini." sapaku pelan takut mengganggu pasangan ibu dan anak itu.
"Na..." hanya itu yang terucap dr bibir perempuan yang kukenal dengan nama tante Mia itu sebelum akhirnya perempuan itu pingsan di pelukan Alex.

"ini sudah ketiga kalinya mama pingsan sejak tadi pagi, Na. belau benar2 shock." kata Alex pelan di sebuah ruang perawatan tempat mamanya di rawat.
"bagaimana dengan Sasa, Lex?" tanyaku
"dy masih belum sadar sejak di bawa kemari. setengah dari tubuhnya menderita luka bakar serius." jawab lelaki itu dengan kepala menunduk dan tangan terkepal kuat. " bisa kamu bayangkan Na? Sasa dulu begitu cantik, tapi sekarang dia...." kalimat itu menggantung seiring tatapan matanya yang seolah menghujam ke mataku. tapi bola mata itu basah. basah oleh air mata kepedihan dan kemarahan yang amat sangat. akhirnya kupeluk juga lelaki yang sudah dua tahun menjadi lelaki yang paling dekat denganku setelah almarhum papa.
dan tangis itupun pecah di bahuku. tangis yang tak pernah sekalipun kulihat selama hampir tiga tahun perkenalan kami. "aku akan membuat perhitungan sama dy, Na! dy harus merasakan apa yang dirasakan Sasa!" bisiknya di tengah isakan tertahan itu.


aku mengenal Sasa dan keluarganya sekitar 3 tahun saat aku di semester akhir kuliah S1ku. dari Sasa juga aku mengenal Alex, kakak kandung semata wayangnya. Sasa juga yang dengan sekuat tenaga menjodohkan aku dengan Alex. aku mengenal mereka berdua sebagai pribadi yang kuat. Sasa memang sedikit manja pada Alex. wajar bagiku karena mereka hanya dua bersaudara. Sasa juga termasuk gadis yang cantik, dengan wajah tirus, bermata bulat hitam yang kontras dengan wajahnya yang putih. secara personal, Sasa juga gadis yang ceria, pandai bergaul, dan bukan tipe gadis yang pilih2. kekurangan calon adik iparku hanya satu, saat sedang jatuh cinta, dia menjadi benar2 bodoh.
(to be continue.....)

Monday, May 26, 2008

Cerpen Tanpa Judul

(bingung mau kasih judul apa, cuma ngeluarin sedikit virus di kepala, kalau tidak layak baca, ya maaf saja)

“Rhei!!!!” teriak seseorang mengagetkanku pagi itu begitu aku memasuki gedung kampus fakultas sastra di sebuah universitas negeri di kota Atlas ini. Sejenak aku berhenti untuk melihat siapa pelaku kejahatan jantung pagi – pagi begini dan aku mendapati David berlari ke arahku. “Kamu ada kelas pagi ini?” tanyanya.

“gak” jawabku sembari menggelengkan kepalaku, “cuma mau ngumpulin paper analisis dari Pak Yan aja. Memangnya kenapa?”

“gak kenapa – napa, cuma tanya aja, aku juga mau ngumpulin paper ke meja beliau nih. Barengan aja yuk?” ajak pria itu. aku menganggukkan kepala dan memasuki ruang dosen kemudian keluar lagi setelah meletakkan paper itu di sebuah meja di ruangan itu.

“kamu ada kelas jam berapa Vid?” tanyaku sekedar basa – basi.

“masih ntar sih jam 11an. Kamu sendiri?”

“jam 9”

dan kemudian diam sampai tiba2 tidak ada hujan atau angin pria itu menarik pergelangan tanganku saat kami sampai di gazebo kampus. Kutatap pergelangan tanganku bergantian dengan wajah pria ini.

“aku pengen tanya sesuatu, dan aku rasa kita butuh duduk.” Katanya. Kuangkat sebelah bahuku dan mengarahkan kaki ke salah satu bangku panjang di gazebo yang masih sepi itu.

“ada apa?” tanyaku begitu kami duduk.

Lelaki itu menghela nafasnya dengan berat, seolah ingin melepas banyak sekali beban di pundaknya sebelum menatapku lekat – lekat. “kamu dan Abel masih jadian kan?” tanyanya. Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan aneh itu, dan yang membuat pertanyaan itu lebih aneh adalah bahwa pertanyaan itu keluar dari mulut David yang sama sekali tidak bisa dibilang dekat baik denganku ataupun dengan Abel, pria yang sudah dua tahun jadi kekasihku.

“kamu ngjakin aku ngomong Cuma buat nanya itu doang? Aneh banget sih? Memang ada apa?” tanyaku balik. Kulihat lelaki itu resah. Beberapa kali disibakannya rambutnya yang sepanjang bahu.

“kamu lagi ada masalah ma dia?” tanyanya lagi yang membuat aku makin bingung.

“Vid, aku lagi g ada masalah ma Abel, kami baik – baik aja, tapi kamu malah bikin aku penasaran dengan pertanyaan – pertanyaan kamu, dan percaya deh, itu gak baik. Ada apa sih?” tanyaku sekali lagi dengan kebingungan yang makin terasa aneh.

“aku……. Aku lihat Abel kemarin.” Kata pria itu setelah terdiam lagi lumayan lama. Aku tertawa. Benar benar tertawa.

“kamu ini Vid, mau ngomong itu aja kok serius banget.” Kataku, “trus kenapa kalau kamu lihat Abel?”

“masalahnya aku lihat dia di mall sama cewe, Rhei.” Jawab David pelan namun mampu membuatku terdiam. “dan kamu gak perlu cari pembelaan dengan mengatakan kemungkinan hubungan teman atau saudara Rhei. Apa yang aku lihat tidak seperti itu.” sekali ini aku benar – benar terdiam. Kutatap lelaki yang duduk disampingku itu dengan seksama berharap ada dusta di sudut matanya. Sekecil apapun tanda dusta itu, aku akan percaya. Tapi kenyataan sepertinya berbicara lain, tak sedikitpun ada kilatan canda di mata itu. David mengatakan kebenaran.

“Vid, seperti apa perempuan itu?” tanyaku setelah lama terdiam.

“kecil, putih, rambutnya panjang, dan agak – agak sexy gitu sih kostumnya.” Jawab David. Aku kembali terhenyak. Gambaran perempuan yang sama seperti yang diceritakan oleh beberapa orang sebelum lelaki ini.

Yach, memang bukan sekali ini aku mendengar Abel jalan dengan perempuan lain. Dan bukan sekali ini juga aku mendengar ciri – ciri yang sama dari gadis itu, dan entah kenapa aku masih menganggap itu sebagai hal biasa. Tapi pagi ini, ketika seseorang kembali mengungkapkannnya dengan lebih hati – hati, sejujurnya aku bimbang. Aku bimbang dengan kepercayaan yang sudah sekian lam kubangun untuk Abel. Kebimbangan yang membuatku memutuskan bahwa kami memang buth bicara. Abel berhutang penjelasan padaku.

“Sorry Vid, aku harus masuk kelas.” Bohongku, meski aku tahu pasti lelaki ini tahu betul kebohongan itu.di balik anggukan kecilnya yang mengiringi langkahku.


kuungkapkan juga rahasia itu

disela waktu yang mampu tercuri

meski hanya sejenak

dengan diam yang terus saja meraja

gadis…….

Semoga telinga membuka juga mata indahmu

Bahwa yang kau jaga tak lagi berharga


“Siapa perempuan itu, Bel” tanyaku saat berada di dalam pelukan Abel di kamar kosnya sore hari setelah pembicaraanku dengan David sekian jam sebelumnya .

“kamu ngomong apa sih Rhei? Perempuan yang mana?” tanya lelaki yang masih saja memelukku dalam dekapan lengan – lengan kekarnya.

“sudahlah Bel, aku sudah tau kok. Aku Cuma pengen tau siapa perempuan yang mampu membuatmu berpaling dariku.” Jawabku, “aku kan gak perlu membuka semua memori hp dan notebookmu kan?” tambahku lagi. Abel terdiam tanpa melepaskan dekapannya.

“siapaun dia, percalah Rhei, dia bukan seseorang yang akan mengancam hubungan kita.” Bisik Abel di telingaku dengan dekapan yang makin erat hingga terasa menyesakkan.

“aku akan memutuskan itu nanti, sekarang aku cuma ingin tahu, siapa perempuan itu.” balasku. Abel membuang nafas.

“Maya. Namanya Maya.” Jawab Abel sesaat kemudian.

“sejak kapan?” tanyaku lagi

“gak pentng kan babe? Yang penting aku dah gak sama dia lagi sekarang. Yang penting saat ini aku ada buat kamu.” Dan kulepaskan dekapan itu dengan paksa.

“aku tanya sejak kapan?” tanyaku dengan nada lebih tegas diantara amarah yang mulai meletup dari ujung lidahku.

Sekali lagi Abel membuang nafas.

“6 bulan lalu saat kamu magang di Jakarta.” Jawabnya pelan.

“kenapa?” tanyaku lagi

“karena aku kesepian, sementar kamu seolah bisa bertahan di sana tanpa aku. Kamu seolah bisa melakukan apapun dan terdengar begitu bebas tanpa aku. Jadi…” kalimat itu menggantung.

Giliranku menghela nafas antara kelegaan dan membuang amarah yang tak ingin kuledakkan. Pelan tapi pasti aku bangkit dari sofa bed tempat kami duduk. Kutatap lelaki di depanku dengan tatapan yang aku sendiri tak tahu apa artinya.

“Bel, kita putus!” kataku dengan jeda yg jelas dan ketegasan yang hanya keluar saat aku menahan amarahku. Dan aku berbalik mengacuhkan tatapan surprise Abel. Kuambil semua barangku, kubereskan diriku, dan beranjak ke pintu.

“asal kamu tau Bel, sejujurnya, hanya karena aku mengingatmu lah aku bisa bertahan di kota itu selama 6 bulan.” Kataku sebelum benar benar membuka pintu dan berlari pergi.


Keputusan itu terlontar juga

Meski amarah itu tetap saja tertahan

Dan melodi kisah ini berujung juga

Pada titian coda

Menjadi epilog nada