"Aku suka kamu La," kalimat itu meluncur tegas di lapangan parkir sebuah kantor media terkemuka. Lelaki yang baru saja mengucapkannya menatap punggung Ila, gadis yang baru beberapa langkah meninggalkannya. langkah gadis chuby itu terhenti. pelan tubuh itu berbalik. ditatapnya lelaki itu lekat lekat seolah mencari canda dimata hitam yang sekelam malam yang menyelimuti mereka.
"Kamu pasti bercanda," kata perempuan itu.
"Aku gak pernah bercanda untuk yang satu ini. aku suka kamu. dan itu sudah lama." tegas lelaki itu. Ila terdiam. begitu juga dengan lelaki yang kini ada di depannya. dan Ila menyesal telah mampir ke kantor media dan bertemu dengan lelaki didepanya malam itu.
"begitu ya..." kalimat itu menggantung tak selesai. dan Ila memang tak bermaksud menyelesaikanya. gadis itu membalikan tubuhnya dan mulai melangkah lagi ketika tiba2 pergelangan tangannya diraih lelaki itu.
"kamu tidak bisa pergi begitu saja setelah mendengar ini La." kata lelaki itu.
"lalu aku harus bagaimana?" tanya Ila.
"aku tahu rasa itu ada di hati kamu juga La," kata lelaki itu.
Ila tersenyum. manis, tapi dingin. "Kamu terlalu percaya diri Vid," katanya usai senyum itu menghilang.
"at least say somthing La," David memohon
"I already say something," jawab Ila tetap dengan nada dingin di suaranya. dan David lemas. Ila kembali berbalik dan melangkahkan kakinya seringan biasanya seolah tak ada yang terjadi. David lemas bersandar pada motornya menatap punggung gadis yang segera menghilang di balik gerbang kantor media tempat mereka bekerja.
David, lelaki tampan dan mapan. seorang layouter salah satu media terbesar di negeri ini. sekaligus seorang fotografer handal. semua cukup membuat lelaki itu hanya tinggal menyebut perempuan mana yang ingin ditaklukanya dan mereka akan datang dengan sendirinya. lelaki yang tidak pernah ditolak kehadirannya. dan tidak seperti kebanyakkan teman jurnalis atau teman media yang lain. David tipe lelaki yang rapi dan bersih. dan itu menjadi nilai plus yang lain.
Ila. seorang gadis biasa. berperawakan biasa tapi sedikit chuby. penulis yang baik, tetapi editor yang jauh lebih baik. ceria dan manis. tapi cukup dingin untuk mematahkan hati paling tidak dua pria di kantor media itu. perempuan yang dulu diremehkan. acuh tak acuh saat meeting. namun berani melawan pada siapapun saat dia tau dia berdiri pada sisi yang benar. bahkan kepala editor media tempat bernaung pun tak luput dari Ila. saat seperti itu terkadang orang2 di kantor lupa bahwa Ila cuma anak semester kuliahan semester awal.
Ila dan David. sepasang anak manusia yang dipertemukan entah oleh takdir Tuhan atau jalan setan. mereka bertemu saat Ila mengambil honor tulisannya yang kesekian. dua pasang mata itu bertatap saat bertemu di depan pintu Pak Lukas sang kepala Editor. David memandang sekilas pada perempuan yang saat itu masih mengenakan baju putih hitam khas mahasiswa baru. hanya sekilas karena memang Ila bukan tipe gadis yang biasa didekatinya. tapi sepasang mata coklat gelap nan bening itu membuatnya bertahan sedikit lebih lama.
"maaf mas, Pak Lukasnya ada?" tanya Ila waktu itu. David terkesiap. kejut itu menghampiri wajahnya.
"oh, cari pak Lukas? ada tuh, barusan aku ketemu," jawab David seringan mungkin.
"makasih," jawab gadis itu dengan senyum mengambang memamerkan sepasang lesung pipit. Ila menghilang di balik pintu bercat coklat di belakang David.
lelaki itu sudah hampir melangkah keluar usai menggoda sekertaris sang kepala Editor saat si ibu sekertaris memanggilnya kembali.
"mas David dipanggil bapak tuh," panggil sekertaris yang memang sudah ibu2 itu.
aneh pikir David. tapi tak urung berbalik juga menuju kantor itu. dan di dalam gadis itu tiba-tiba berdiri.
"David kenalin ini Ila, Ila ini David," pak Lukas memperkenalkan mereka berdua. Ila tersenyum sekali lagi dan menglurkan tangannya menyambut tangan David yang lebih dulu terulur. "kamu tolongin jadi fotografer dadakan di kampus Ila ya Vid. candid aja. biar Ila yang urus artikel soal ospek dari segi peserta.ok?"
"honornya nambah ya pak?" canda David pada atasanya. dan mereka tertawa sementara Ila hanya tersenyum."tapi tumben pak, aku dapat partner anak kecil gini." dan Ila langsung memasang muka cemberutnya. sekali lagi dua lelaki didepannya tertawa.
dan itulah awalnya. sebuah pertemanan yang biasa. hanya rekan kerja yang sekali dua kali terlibat proyek yang sama. sampai suatu ketika Deny salah seorang layouter menghampirinya setelah dua tahun Ila menjabat sebagai freelance writer di kantornya.
"kamu jadian gak sih Vid sama Ila?" tanya Deny setelah basa basi gak jelas di meja David.
"aku sama Ila? kamu gak salah tanya? ya gak mungkin lah aku jadian ma cewe kayak dia," jawab David sekenanya.
"gitu ya?" renung Deny, "jadi gak masalh dong kalau aku deketin Ila?" tanya Deny lagi. waktu itu David cuma tertawa keras2.
"ambil deh, gak minat ma cewe kutu buku kayak Ila," jawab David. "tapi ngapain kamu tanya aku Den?" tanya David yang mau gak mau penasaran juga.
"soalnya kalian kelihatan dekat. jadi kupikir kalian ada something," jawab Deny serius. "lagian aku gak yakin kalau kamu gak tertarik sama sekali sama Ila. secara dia pinter, manis, dan lumayan sexy kalau diliahat lihat. tapi matanya itu yang beda. matanya bening."
David termangu. sepasang mata itu memang beda. warna yang coklat gelap tanpa lapisan softlens yang bening. sepasang mata yang diakuinya indah. seperti telaga.
hari2 berikutnya sudah bisa diduga oleh David. Deny melancarkan gerakkanya. dari sekedar menawarkan pulang bareng sampai menggantikan proyek yang seharusnya dipegang David dan Ila. David sendiri tak pernah merasa keberatan sedikitpun dengan gerakan Deny yang terang-terangan. dan Ila sendiri tak pernah keberatan. gadis itu tetap seperti biasa. ceria dan menerima siapapun partnernya. belakang tak hanya Deny tapi juga Angga yang juga jurnalist junior di kantor. David melihatnya. dua pria yang bersaing terang2an. dua pria yang tiba2 berhenti begitu saja. dan Ila tetap seperti biasa. bekerja seperti biasa. berhubungan seperti biasa.
"Kamu gak ngejar Ila lagi Den?" tanya david penasaran melihat dua pria di kantornya meredakan hubungan dengan Ila.
"aku ditolak Vid ma dia," jawab Deny. "tadinya kupikir aku masih bisa dekat ma dia. tapi sepertinya memang aku gak sanggup meraih dia bro."
"jadi kamu kalah sama Angga?" tanya David setengah mencibir.
"siap bilang Angga menang? justru Angga lebih dulu ditolak karena dia nembak duluan." jawab Deny ditengah tawanya.
"sejujurnya aku heran Den sama kalian, apa yang menarik dari Ila hingga membuat kalian sebegitu getolnya ngejar dia."
"kamu harus kenal dia, bro kalau mau tau. coba deh sesekali kamu jalan bareng sama Ila. gak usah lama2. sebulan aja dan kamu akan tau apa yang membuat perempuan itu menjadi begitu spesial." sepasang bibir Deny membentuk senyum simpul.
David mengakhir obrolan itu dengan garuk-garuk kepala dengan sukses. tapi tetap tak membuat dia tertarik pada Ila. hanya satu rasa yang mengusik benaknya. penasaran. pria-pria yang ditolak Ila bukan pria2 jelek meskipun tidak ganteng banget juga. tapi jelas mereka punya nilai plus. tak mungkin satu diantara nilai plus itu tak mampu memikat Ila. cuma seorang Ila. tapi tak urung rasa penasaran itu menggelitiknya. dan bukan David namanya kalau tidak menuruti intuisinya. malam itu Ila pulang terakhir setelah mengedit beberapa artikel milik teman-teman jurnalis lain sekligus menyelesaikan artikelnya sendiri.
"pulang La?" tanya david sambil sok sibuk dengan DSLRnya.
"iya Vid, kok kamu belum pulang?" sudah sejak lama mereka tak saling memanggil dengan embel2 'mas' atau 'dek' atau apapun itu.
"iya, nih mau pulang. mau bareng?" tanya David ringan
"aku kan bawa motor." jawab Ila sambil memperlihatkan helm yang ditentangnya.
'oh," david masih sok sibuk, "btw, besok aku kebetulan mau hunting foto di kampus kamu. mau nemenin gak?" tanya David.
"hunting di sebelah mana?" tanya Ila bingung. tak terpikir ada spot yang bagus untuk fotografi di kampusnya.
"oh, random hunting aja kok. mumpung besok off," jawab David sekenanya. mengarang hal semacam ini toh tidak sulit untuknya.